Pengamat: Optimisme Gencatan Senjata di Gaza Masih Diadang Ketidakpastian

2 July 2025 20:33

Upaya diplomatik untuk menghentikan konflik bersenjata di Jalur Gaza kembali bergulir. Di tengah serangan Israel yang semakin intens, sinyal gencatan senjata muncul dari sejumlah pihak. Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan bahwa Israel telah menyetujui sejumlah syarat penting menuju gencatan senjata selama 60 hari. Namun, benarkah peluang perdamaian sudah di depan mata?

Pengamat hubungan internasional Teuku Rezasyah menyatakan, meski ada harapan, peluang gencatan senjata masih sangat kecil untuk terwujud dalam waktu dekat. 

“Optimisme itu ada, tapi pada tataran praktik sangat sulit dilaksanakan,” ujar Teuku dikutip dari Metro Hari Ini Metro TV pada Rabu, 2 Juli 2025. 

Teuku juga menyoroti fakta bahwa hingga kini sudah lebih dari 56.000 jiwa meninggal dunia akibat konflik sejak meletusnya pertempuran pada 7 Oktober 2023. Dirinya menjelaskan bahwa saat ini delegasi Hamas sedang berada di Kairo untuk bertemu dengan mediator dari Mesir dan Qatar. 

Hamas, kata dia, bersedia untuk berunding namun menolak proposal Amerika Serikat yang dianggap membingungkan. Salah satunya adalah pernyataan Donald Trump yang terlalu dini menyebut bahwa perdamaian akan tercapai dalam waktu dekat, padahal sejumlah hal fundamental belum disepakati.

Israel sendiri menunjukkan sinyal yang ambigu. Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon, menyatakan negaranya siap melakukan gencatan senjata, namun menggunakan istilah absolutely yang menurut Teuku berpotensi menjadi celah untuk pelanggaran. Di sisi lain, Israel tetap menekankan bahwa perang baru akan berakhir jika semua sandera dipulangkan dan Hamas meletakkan senjata, syarat yang hampir mustahil terpenuhi.
 

Baca Juga: Hamas Isyaratkan Terbuka Atas Usulan Gencatan Senjata dengan Israel

Proposal gencatan senjata yang diumumkan Trump pada 1 Juli 2025 mencakup penghentian sementara operasi militer Israel selama 10–12 jam per hari, pelepasan 1.236 tahanan Palestina, serta pengembalian 180 jenazah. Sebagai gantinya, Hamas diminta membebaskan 10 sandera hidup dan menyerahkan 18 jenazah.

Meski demikian, proposal tersebut dinilai masih menyimpan banyak ketidakjelasan. Menurut Rezasyah, ada rencana bahwa pimpinan Hamas akan diasingkan ke negara-negara Arab seperti UEA dan Mesir, sementara pengelolaan Gaza akan diserahkan kepada dua negara tersebut. “Ini adalah hal-hal yang belum dibukakan kepada publik dan menjadi alasan mengapa Hamas masih ragu menerima kesepakatan,” ujarnya.

Selain itu, ada rencana pembentukan Gaza Humanitarian Foundation yang akan dikelola Israel dan Amerika Serikat. Namun, narasi bisnis yang menyertai gagasan ini justru menimbulkan kecurigaan bahwa Gaza akan menjadi objek kepentingan ekonomi baru, alih-alih wilayah damai dan berdaulat.

Dalam konteks peran Amerika Serikat, Teuku menggarisbawahi pernyataan Trump yang mengklaim akan bersikap very firm kepada Netanyahu agar segera menghentikan serangan ke Gaza. Ia berharap kata-kata keras ini diikuti oleh tindakan konkret dari jajaran diplomatik AS saat berunding dengan Israel.

Rencananya, 7 Juli 2025 menjadi momentum penting ketika Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dijadwalkan bertemu Trump di Washington. Ia berharap pertemuan tersebut tidak hanya menghasilkan gencatan senjata sementara, tetapi juga menjadi pijakan awal menuju Palestina yang merdeka, berdaulat, dan hidup berdampingan dengan Israel secara damai.

“Titik kunci ini hanya akan terwujud jika lingkungan sekitarnya stabil,” tegas Teuku. 

(Tamara Sanny)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Anggie Meidyana)