10 November 1945 adalah momen puncak pertemuan di Surabaya. Sejarah mencatat inilah pertempuran terbesar dan terberat dalam revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Kini 10 November, kita peringati sebagai Hari Pahlawan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, patriotisme adalah sikap rela berkorban untuk bangsa dan negara. Sikap itulah yang ditunjukkan arek-arek Suroboyo saat melawan pasukan pemenang Perang Dunia II.
Bulan ini kita memperingati Hari Pahlawan. Setiap momentum Hari Pahlawan, narasi patriotisme selalu dikumandangkan. Di masa Indonesia merdeka, tentu konteks patriotisme tidak lagi soal mengangkat senjata atau hanya sekedar menggelar upacara. Esensi patriotisme adalah rasa cinta Tanah Air.
Patriotisme harus diaktualisasi dalam seluruh aspek kehidupan. Baik di ranah privat maupun umum, termasuk dalam kehidupan politik.
Patriotisme menuntut kita rela berkorban untuk bangsa dan negara. Mendahulukan kepentingan kehidupan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompok dan keluarga. Patriotisme juga memandu kita unuk berani membela kebenaran dan melawan kemungkaran.
Pertanyaannya apakah semangat patriotisme masih hidup dalam para elite politik Indonesia?
Pemikir asal Amerika Serikat, James Franck mendalilkan seorang politisi hanya peduli soal Pemilu mendatang, sedangkan seorang negarawan peduli soal generasi mendatang.
Sebagian elite politik zaman now tak peduli merusak tatanan bernegara demi kepentingan diri, kelompok dan keluarganya. Bapak Bangsa, Gus Dur justru mengalah demi menjaga keutuhan bangsa.