Bedah Editorial MI: Menjaga Langkah Raksasa Danantara

6 February 2025 10:32

PENGESAHAN RUU BUMN pada Selasa (4/2) oleh DPR RI, sekaligus resmi meniupkan nyawa pada Danantara. Persiapan pembentukan lembaga bernama lengkap Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) itu sudah sejak tahun lalu, termasuk dengan pelantikan kepalanya oleh Presiden Prabowo Subianto pada Oktober 2024.

Meski masih menunggu aturan turunan seperti Peraturan Pemerintah (PP) untuk Danantara dapat memulai beroperasi, langkah awal badan itu sudah digadang-gadang bakal berarti besar. Sebagaimana target yang diberikan negara padanya sebagai superholding BUMN, Danantara adalah raksasa aset.

Di awal ini ada tujuh BUMN yang asetnya ditempatkan di bawah Danantara, yakni PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Bank Nasional Indonesia Tbk, PT Pertamina, PT PLN , MIND ID, dan PT Telkom Indonesia Tbk. Berdasarkan dokumen Danantara, nilai aset ketujuh BUMN itu senilai US$600 miliar atau setara Rp9.600 triliun (asumsi kurs Rp16.000 per US$).

Tidak hanya itu, Danantara juga akan menaungi Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA). LPI didirikan di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mengelola investasi dana abadi pemerintah. 
 

Baca: RUU BUMN Akhirnya Disahkan Setelah Bertahan 22 Tahun


Hasilnya adalah ibarat penyatuan superholding BUMN Singapura Temasek dengan badan investasi pemerintah Singapura GIC. Maka tidak aneh jika Danantara dicita-citakan akan lebih besar daripada Temasek, yang dikenal telah memborong saham Meta, Apple, Amazon, dan Microsoft.

Di balik ambisi besar pembentukan Danantara, ada beban yang tak kalah besar diletakkan padanya. Danantara disebut-sebut sebagai salah satu motor utama untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% yang sudah ditetapkan Prabowo. Untuk mencapai itu, pemerintah butuh menarik investasi sebesar Rp3.000 triliun, yang terus berlanjut hingga 2029. Aset Danantara yang besar itulah diharapkan dapat menggiurkan bagi investor luar negeri. 

Kita sepakat bahwa BUMN adalah motor penting pertumbuhan ekonomi. BUMN Indonesia juga butuh pengelolaan yang lebih profesional dan modern. Tidak hanya itu, aset-aset BUMN yang selama ini banyak yang mangkrak semestinya dapat dibangkitkan dan diberdayakan. Danantara sepatutnya bisa menjadi jawaban atas hal itu. 

Namun, kita juga tidak boleh naif, begitu besarnya aset yang dimiliki Danantara, berarti juga menyimpan risiko besar. Bahkan sebelum Danantara mencapai fase seperti Temasek yang menjadi pemilik saham perusahaan-perusahaan raksasa, risiko hadir dari mekanisme  leverage yang terus digaungkan untuk menarik investasi. Kita mafhum leverage dapat menarik dana cepat, tetapi konsepnya yang berupa utang bisa justru menjadi bumerang bagi aset-aset berharga BUMN kita. 

Kemudian berkaca pula pada perjalanan Temasek, bahkan di fase saat ini sebagai salah satu perusahaan investasi besar dan tepercaya dunia, bukan berarti tak pernah mendapatkan hasil apes. Hasil besar butuh pertaruhan besar. Temasek yang pada 2022 profit US$11 miliar, rugi US$7 miliar di tahun berikutnya.  

Dengan begitu, pemerintah sama sekali tidak boleh main-main dalam pengelolaan Danantara. Bukan saja sumber daya manusia yang harus benar-benar profesional dan mumpuni dalam tingkat dunia, pemerintah juga harus menerapkan sistem check and balance yang sangat ketat. Berikut juga, intervensi politik dan konflik kepentingan benar-benar haram di Danantara. 

Pemerintah harus menyadari setiap langkah Danantara adalah langkah raksasa yang membawa implikasi sangat besar. Penggabungan aset BUMN dan dana negara membuat pertaruhan Danantara lebih dari sekadar risiko korporasi. Jika Danantara salah urus, bisa-bisa perekonomian negara yang bakal tergerus.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Gervin Nathaniel Purba)