Bedah Editorial MI: Presiden Jokowi, Dewasalah

29 January 2024 08:32

Gonjang-ganjing tentang Presiden Joko Widodo menyatakan presiden boleh memihak dan berkampanye berbuntut panjang. Kritik hingga kecaman datang dari berbagai kalangan.

Pernyataan Presiden Jokowi menimbulkan kekikukan dalam proses demokasi dan bernegara. Aturan presiden boleh berkampanye seperti yang tercantum dalam Pasal 281 Undang-Undang Pemilu untuk menghormati hak politik warga negara, termasuk kepala negara. 

Ketika seorang presiden petahana maju kembali ke pilpres, ia berkepentingan untuk menyampaikan visi dan misi pemerintahan periode keduanya kepada khayalak pemilih. Itu masuk dalam ranah kampanye. Presiden petahana diperbolehkan mengambil haknya untuk berkampanye. Kondisi seperti ini sudah dijalani pula oleh Jokowi pada Pilpres 2019.

Alih-alih menjalankan hak politik, yang lebih menonjol dari keberpihakan Jokowi adalah nepotisme. Kita tahu nepotisme merupakan saudara kandung korupsi, kakak adik dengan kolusi. Tergolong nepotisme karena kelakuan Presiden Jokowi tampak jelas untuk kemenangan Gibran, sang putra sulung. 

Cawe-cawe Jokowi selaku presiden dalam pemilu menunjukkan perlunya norma yang lebih jelas yang mengatur kelakuan presiden. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, presiden memang sudah dibatasi dengan ketentuan-ketentuan amanat konstitusi. Hanya saja, sifatnya belum spesifik tentang kelembagaan presiden.

Kiranya, norma yang bisa turut diatur dalam bentuk undang-undang lembaga kepresidenan tersebut menjadi pekerjaan berikutnya di legislasi. Kegaduhan tentang kelakuan kepala negara saat ini malah cukup memberi motivasi untuk menjadikan beleid itu sebagai prioritas.

Kita juga perlu menekankan, belum adanya norma yang jelas yang membatasi perilaku presiden, bukan berarti kepala negara bisa leluasa membengkok-bengkokkan dan menabrak aturan. Dalam hal keberpihakan dan hak berkampanye, Presiden Jokowi harus ingat hal itu sebetulnya sudah dibatasi rambu-rambu. 

Pada akhirnya, kondisi yang disyaratkan dalam Undang-Undang Pemilu membuat muskil seorang presiden berkampanye tanpa menggunakan fasilitas negara.  Presiden juga tidak bisa berpihak tanpa melanggar rambu-rambu pada Pasal 282 UU Pemilu. Di situ pejabat negara dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu. 

Presiden Jokowi perlu menyadari pentingnya menunjukkan sikap kenegarawanan untuk menunaikan tanggung jawab membawa bangsa ini dewasa berpolitik dan bernegara. Masa depan demokrasi tidak boleh dirusak oleh pikiran sempit soal boleh atau tidak menurut aturan, melainkan juga pada pantas atau tidak menurut etika. Dewasalah Pak Presiden. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Silvana Febriari)