Pakar Kritik Wacana Pilkada Dipilih oleh DPRD

19 December 2024 00:17

Pakar hukum tata negara Universitas Pasundan, Atang Irawan menanggapi dinamika politik soal wacana Pilkada yang dipilih oleh DPRD. Ia menilai wacana Pilkada melalui DPRD tak tepat jika tidak melalui proses diskusi yang matang terlebih dahulu. Menurut Atang daripada mengganti undang-undang lebih baik dilakukan evaluasi secara menyeluruh.

"Saya kira lebih bagus itu karena memang kita harus melakukan sebuah evaluasi terhadap perjalanan kontestasi politik di kepala daerah. Tapi terkait dengan masalah wacana akan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, artinya tidak melalui official elected lagi, ini kemudian menjadi sebuah hal yang harus didiskusikan bersama," jelas Atang.

Atang menggarisbawahi persoalan efisiensi yang disebut sebagai alasan Pilkada seharusnya dipilih oleh DPRD, ketimbang rakyat. Efisiensi ini harus dibarengi dengan asas luber jurdil yang tak dapat dipisahkan dari peristiwa Pemilu maupun Pilkada.

"Karena yang pertama saya kira MK dalam Tahun 2022 di keputusan Nomor 85 sudah menegaskan bahwa Pilkada itu merupakan bagian dari Pemilu. Karena Pilkada bagian dari pemilu maka dia korelasinya dengan Pasal 22E ayat (1), bicara asas kan, asasnya itu luber jurdil. Luber itu kan berarti langsung, maka langsung itu berimplikasi kepada pemilihan langsung," ujarnya.
 

Baca juga: NasDem Ingin Gagasan Pilkada Dipilih DPRD Dikaji Bareng Masyarakat hingga Akademisi

Maka dari itu, Atang menegaskan, Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang kendali undang-undang mengingatkan agar pemerintah tidak terus menerus mengganti aturan. Sebab, secara historical, Indonesia pernah ada pada masa memiliki dua sistem penentu jabatan publik.

"Yang kedua, Saya kira yang cukup penting, MK juga pernah memutus dengan Putusan Nomor 55 Tahun 2019. Bahwa sebaiknya dalam rangka memperhatikan betul terkait dengan pergantian sistem pemilihan kepala daerah, jangan ganti-ganti melulu," ungkapnya.

Menurut Atang, jika wacana ini berlanjut hingga terbentuk jadi rancangan undang-undang, maka tak menutup kemungkinan akan memicu gerakan rakyat untuk protes lagi.

Oleh karenanya, seharusnya bukan mengganti aturan undang-undangnya, namun lebih kepada evaluasi secara menyeluruh dan penegakkan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran Pilkada seperti money politics dan political buying.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Anggie Meidyana)