Pertemuan Partai Komunis Tiongkok selama empat hari berlangsung di Beijing dan dimulai pada Senin, 20 Oktober 2025. (Anadolu Agency)
Muhammad Reyhansyah • 20 October 2025 19:01
Beijing: Para pemimpin tertinggi Tiongkok tengah berkumpul di Beijing pekan ini untuk menentukan arah kebijakan negara itu hingga akhir dekade. Hasil rapat Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok (PKT), atau Plenum, akan menjadi dasar bagi Rencana Lima Tahun berikutnya yang berlaku antara 2026 hingga 2030.
Rencana Lima Tahun merupakan cetak biru pembangunan ekonomi dan politik Tiongkok yang menentukan prioritas negara tersebut di berbagai sektor.
“Jika kebijakan Barat bergerak berdasarkan siklus pemilu, maka kebijakan Tiongkok bekerja berdasarkan siklus perencanaan,” kata Neil Thomas, peneliti politik Tiongkok di Asia Society Policy Institute.
Menurut Thomas, dokumen tersebut bukan sekadar rencana ekonomi, tetapi juga sinyal arah kepemimpinan dan upaya menggerakkan seluruh sumber daya negara menuju tujuan yang telah ditetapkan. Meski terkesan birokratis, keputusan yang lahir dari Plenum kerap berdampak besar bagi dunia dari reformasi ekonomi, revolusi industri hijau, hingga persaingan teknologi dengan Amerika Serikat.
Mengutip dari BBC, Senin, 20 Oktober 2025, berikut tiga momen penting ketika Rencana Lima Tahun Tiongkok mengubah wajah ekonomi global.
1981–1984: “Reformasi dan Keterbukaan”
Tonggak kebangkitan ekonomi Tiongkok bermula dari kebijakan “reformasi dan keterbukaan” yang dipelopori Deng Xiaoping pada akhir 1970-an. Setelah era Mao Zedong yang ditandai dengan kekacauan politik dan kemiskinan massal, Deng memperkenalkan sistem ekonomi pasar terbatas yang dikombinasikan dengan perencanaan negara.
Rencana Lima Tahun yang dimulai pada 1981 menjadi implementasi konkret dari visi tersebut. Melalui pembentukan Zona Ekonomi Khusus dan deregulasi investasi asing, Tiongkok berhasil menarik modal global dan menciptakan transformasi ekonomi besar-besaran.
“Tiongkok hari ini telah melampaui mimpi paling ambisius masyarakat tahun 1970-an,” ujar Thomas. “Negara ini berhasil memulihkan kebanggaan nasional sekaligus menempatkan dirinya di antara kekuatan besar dunia.”
Namun, perubahan ini juga mengguncang ekonomi global. Produksi manufaktur Barat berpindah ke kawasan pesisir Tiongkok, menciptakan apa yang disebut ekonom sebagai “China shock." Fenomena ini mendorong lahirnya populisme di wilayah industri Eropa dan Amerika Serikat, serta menjadi latar munculnya kebijakan proteksionis Donald Trump beberapa dekade kemudian.
2011–2015: “Industri Unggulan Baru”
Setelah menjadi “pabrik dunia”, kepemimpinan Tiongkok mulai khawatir akan jebakan pendapatan menengah, kondisi ketika pertumbuhan ekonomi stagnan karena tidak mampu beralih ke industri berteknologi tinggi.
Sebagai solusi, Rencana Lima Tahun 2011 menekankan pengembangan strategic emerging industries seperti energi hijau, kendaraan listrik, dan teknologi surya. Investasi besar-besaran negara di sektor tersebut menjadikan Tiongkok kini pemimpin global dalam energi terbarukan dan kendaraan listrik.
Dominasi Tiongkok terhadap rantai pasok rare earth, bahan penting untuk pembuatan chip, baterai, dan kecerdasan buatan (AI) memberi Beijing pengaruh strategis baru di panggung internasional.
Kebijakan ini, menurut Thomas, berakar dari ide lama Partai Komunis Tiongkok: kemandirian ekonomi dan teknologi. “Keinginan agar Tiongkok mandiri secara ekonomi dan teknologi merupakan bagian dari DNA ideologi partai,” jelasnya.
2021–2025: “Pembangunan Berkualitas Tinggi”
Era
Presiden Xi Jinping menandai babak baru dalam arah pembangunan Tiongkok. Rencana Lima Tahun 2021–2025 menekankan konsep “pembangunan berkualitas tinggi," yang berfokus pada inovasi teknologi dan kemandirian strategis.
Tiongkok kini berusaha menyaingi dominasi teknologi Amerika Serikat melalui perusahaan seperti Huawei, TikTok, dan DeepSeek. Namun, kemajuan itu juga memicu kekhawatiran keamanan di Barat, mendorong larangan terhadap sejumlah teknologi asal Tiongkok.
Xi kemudian memperkenalkan istilah baru, “new quality productive forces," untuk menegaskan orientasi pada keamanan nasional dan kemandirian teknologi — terutama di sektor semikonduktor, komputasi, dan AI.
“Keamanan nasional dan kemandirian teknologi kini menjadi misi utama kebijakan ekonomi Tiongkok,” kata Thomas. “Semua ini kembali pada proyek nasionalisme yang menjadi dasar komunisme Tiongkok, memastikan negara itu tidak pernah lagi didominasi kekuatan asing.”
Rencana Lima Tahun berikutnya, yang akan dimulai 2026, diperkirakan memperkuat arah ini: mengukuhkan Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi sekaligus teknologi yang mandiri dan berdaulat di tengah rivalitas global.