Penangkapan Duterte Dinilai Bisa Picu Ketidakstabilan Ekonomi

Mantan presiden Filipina Rodrigo Duterte. (Anadolu Agency)

Penangkapan Duterte Dinilai Bisa Picu Ketidakstabilan Ekonomi

Achmad Zulfikar Fazli • 21 March 2025 00:20

Jakarta. Penangkapan mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte oleh International Criminal Court (ICC) membelah publik Filipina. Satu kelompok mendukung penangkapan itu, tapi ada kelompok lain dalam jumlah yang lebih besar mengecam keras langkah ICC. 

Mantan Duta Besar Filipina untuk Arab Saudi, Adnan Alonto, mengatakan penangkapan Duterte berdasarkan kasus yang diajukan ICC mencerminkan pemerintah saat ini tidak dapat dipercaya. 

“Pemerintah (Filipina) berjanji untuk tidak bekerja sama dengan ICC, karena negara ini memiliki sistem peradilan yang berfungsi. Membiarkan penangkapan ini melanggar dan mengurangi integritas cabang peradilan. Dispensasi ini akan melakukan apa saja untuk menyingkirkan keluarga Duterte,” ujar Adnan, dilansir pada Kamis, 20 Maret 2025.

Sementara itu, pengacara hak asasi manusia internasional Arnedo Valera menilai penangkapan Duterte tidak sah. Hal itu dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang sembrono. 

“Ini adalah salah perhitungan politik yang fatal dan putus asa oleh pemerintahan Marcos Jr atau Bongbong. Tindakan kurang ajar ini akan menghancurkan koalisi penguasa Marcos yang rapuh, memecah belah pasukan militer dan polisi, serta memicu gelombang protes massa dan keresahan sosial di seluruh negeri,” kata Valera.

Menurut dia, penangkapan ini dapat mengguncang kepercayaan investor, memicu ketidakstabilan ekonomi, dan membuat oposisi semakin berani. Sehingga, mempercepat jalan menuju perubahan rezim.
 

Baca Juga: 

Rodrigo Duterte Dituntut Bertanggung Jawab atas Kematian Ribuan Orang


Di Indonesia pun reaksi yang sama muncul. Pakar hubungan internasional, Prof. Anak Agung Banyu Perwita, menyayangkan langkah Presiden Bongbong terhadap pendahulunya itu.

Menurut dia, dari sisi hukum, sebenarnya tidak ada masalah karena setiap negara bebas menerapkan politik hukum yang keras terhadap pelaku kejahatan narkotika. Apalagi, sudah mengancam eksistensi negara bersangkutan dalam bentuk instabilitas keamanan nasional. 

Indonesia, kata dia, juga memiliki politik hukum yang keras terhadap penjahat narkotika kelas kakap dalam bentuk hukuman mati. “Jadi, tidak ada yang salah dengan kebijakan Duterte yang menghabisi para pelaku kejahatan narkotika di Filipina. Negara ini sepenuhnya berdaulat menjalankan politik hukumnya,” ucap Banyu.

Dia menambahkan Pemerintah Indonesia perlu menegaskan kembali sikapnya, permasalahan yang menyangkut negara-negara anggota ASEAN harus diselesaikan di dalam kawasan.  Terutama, melalui mekanisme yang dipimpin ASEAN, bukan oleh institusi eksternal seperti ICC. Prinsip ini sejalan dengan komitmen ASEAN terhadap kedaulatan regional dan prinsip non-intervensi sebagaimana diatur dalam Piagam ASEAN.

“Meskipun Indonesia mengakui pentingnya akuntabilitas dan keadilan, kami meyakini masalah semacam ini harus ditangani melalui kerangka hukum nasional dan regional, sesuai dengan prinsip persatuan dan sentralitas ASEAN,” jelas dia. 

Banyu mengatakan sebagai salah satu pendiri ASEAN, Indonesia secara konsisten mengadvokasi solusi regional untuk tantangan regional. ASEAN telah membangun.

“Harapannya sih Indonesia dapat menyatakan keprihatinannya atas perkembangan terbaru terkait tindakan ICC terhadap mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte,” ujar dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)