Mantan presiden Filipina Rodrigo Duterte. (Anadolu Agency)
Manila: Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte ditangkap setelah Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penahanan atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait kampanye pemberantasan narkoba yang menyebabkan ribuan orang tewas. Penahanan ini menjadi puncak dari penyelidikan internasional yang telah berlangsung lebih dari satu dekade di Filipina.
Penangkapan di Manila setelah Kunjungan Kontroversial ke Hong Kong
Duterte, yang kini berusia 79 tahun dan dalam kondisi kesehatan yang menurun, ditangkap oleh kepolisian saat turun dari pesawat di Bandara Internasional Manila. Sebelumnya, perjalanannya ke Hong Kong akhir pekan lalu memicu spekulasi bahwa ia berusaha menghindari penangkapan internasional.
Saat berada di Hong Kong, Duterte menghadiri pertemuan besar dengan ribuan warga Filipina di Southorn Stadium, distrik Wan Chai. Dalam pidatonya, ia kembali membela kebijakan kerasnya terhadap peredaran narkoba dan mendapat dukungan dari massa yang bersorak serta mengibarkan bendera.
Duterte, yang masih aktif dalam politik dengan berkampanye untuk calon senator dari partainya menjelang pemilu sela pada 12 Mei mendatang, mengakui bahwa ICC telah mengeluarkan surat perintah penangkapannya. Namun, ia tetap berusaha membenarkan kebijakan represifnya terhadap narkoba.
Rekam Jejak Duterte dalam Kampanye Anti-Narkoba
Mengutip dari ABC News, Selasa 11 Maret 2025, Duterte membangun karir politiknya sebagai jaksa, anggota parlemen, dan wali kota Davao sebelum akhirnya menjadi presiden. Ia dikenal dengan retorika kerasnya yang sering menyerang elite politik, gereja Katolik, serta negara-negara Barat.
Selama menjabat sebagai wali kota Davao di awal 2000-an, ia meluncurkan kebijakan pemberantasan narkoba yang ditandai dengan eksekusi di luar proses hukum terhadap sekitar 1.000 tersangka, mayoritas dari kalangan miskin. Seorang mantan perwira polisi yang terlibat dalam operasi tersebut bahkan mengungkapkan bahwa jumlah korban bisa mencapai 10.000 jiwa akibat eksekusi oleh aparat dan kelompok sipil bersenjata yang beroperasi di bawah kepemimpinan Duterte.
Ketika terpilih sebagai presiden pada 2016, Duterte berjanji akan menghapus peredaran narkoba dan korupsi dalam waktu enam bulan. Kampanye ini diiringi dengan pernyataan kontroversialnya dalam salah satu pidato kampanye:
"Semua yang terlibat narkoba, kalian anak-anak haram, aku akan benar-benar membunuh kalian. Aku tidak punya kesabaran, tidak ada jalan tengah. Bunuh aku atau aku yang akan membunuh kalian, para idiot," katanya di depan massa di Manila.
Namun, kebijakan ini justru memicu kecaman dari berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa. Duterte merespons kritik internasional dengan menantang Presiden AS saat itu, Barack Obama, dan mengancam akan memutus hubungan dengan Washington.
Penyelidikan ICC dan Upaya Duterte Menghindari Akuntabilitas
Penyelidikan ICC terhadap Duterte mencakup periode dari 1 November 2011 pada saat ia masih menjadi wali kota Davao hingga 16 Maret 2019. Duterte menarik Filipina dari Statuta Roma pada 2019, sebuah langkah yang menurut aktivis hak asasi manusia bertujuan menghindari pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukan selama perang narkoba.
Pada 2021, pemerintah Filipina berusaha menghentikan investigasi ICC dengan alasan mereka sudah melakukan penyelidikan sendiri terhadap kasus-kasus pembunuhan. Namun, pengadilan di Den Haag menolak klaim tersebut pada Juli 2023 dan memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan.
ICC memiliki yurisdiksi atas kasus kejahatan serius seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan jika negara yang bersangkutan tidak mampu atau tidak mau melakukan penuntutan sendiri.
Sikap Pemerintah Filipina dan Potensi Dampak Politik
Presiden Filipina saat ini, Ferdinand Marcos Jr., yang menjabat sejak 2022, telah berselisih secara politik dengan Duterte. Meskipun Marcos menolak untuk membawa Filipina kembali bergabung dengan ICC, pemerintahnya menyatakan kesediaannya untuk bekerja sama jika ICC meminta bantuan Interpol dalam menahan Duterte melalui Red Notice.
Baik Filipina maupun Tiongkok, yang mengendalikan Hong Kong bukan anggota ICC, tetapi keduanya merupakan bagian dari Interpol. Jika ICC mengajukan permintaan resmi, Duterte bisa saja ditangkap melalui kerja sama penegakan hukum internasional.
Seorang politisi Filipina yang terlibat dalam kasus ICC terhadap Duterte mengatakan kepada Associated Press bahwa surat perintah penangkapan telah dikeluarkan melalui Interpol. Namun, hingga kini, baik ICC maupun Interpol belum memberikan konfirmasi resmi terkait hal tersebut.
Dalam pidatonya di Hong Kong, Duterte kembali menegaskan bahwa kebijakan kerasnya bertujuan untuk melindungi rakyat Filipina dari kejahatan narkoba.
"Apa kesalahanku?" katanya. "Aku melakukan segalanya agar rakyat Filipina bisa hidup dalam kedamaian dan ketenangan."
Duterte juga sempat berseloroh bahwa jika dirinya dipenjara, masyarakat harus mengumpulkan dana untuk membangun patung dirinya dengan pose memegang senjata.
Meskipun sebelumnya menyatakan pensiun dari politik setelah masa kepresidenannya berakhir pada 2022, Duterte kini kembali mencalonkan diri sebagai wali kota Davao, dengan salah satu putranya maju sebagai wakil wali kota dalam pemilu mendatang.
Sementara itu, otoritas Filipina telah meningkatkan keamanan di Davao dengan memperketat pemeriksaan di bandara internasional serta menambah pos-pos pemeriksaan. Langkah ini, menurut pihak berwenang, dilakukan sebagai persiapan menghadapi kemungkinan gejolak setelah penangkapan Duterte. Pemerintah Marcos menegaskan bahwa mereka siap menangani setiap potensi kerusuhan yang muncul akibat kasus ini. (
Muhammad Reyhansyah)
Baca juga:
Rodrigo Duterte Langsung Ditangkap di Bandara Manila Terkait Permintaan ICC