Kandidat calon presiden Korea Selatan, Lee Jae-myung. (Anadolu Agency)
Willy Haryono • 26 May 2025 22:05
Seoul: Korea Selatan tengah menghadapi tekanan besar untuk mereformasi sistem pemerintahan setelah pemakzulan mantan Presiden Yoon Suk-yeol menyusul keputusannya menetapkan darurat militer pada Desember lalu.
Pemilu presiden Korea Selatan yang dijadwalkan 3 Juni akan menjadi titik tolak bagi wacana amandemen konstitusi, yang kini mendapat dukungan bipartisan.
Sejak konstitusi terakhir kali diamendemen pada 1987 untuk memberlakukan pemilihan presiden langsung dengan masa jabatan tunggal selama lima tahun, berbagai usulan reformasi telah muncul, tetapi tidak pernah terealisasi. Kini, momentum politik dan publik tampaknya mengarah ke arah yang berbeda.
“Peluang keberhasilan amandemen konstitusi lebih besar dari sebelumnya,” kata Chae Jin-won, profesor dari Institute of Public Governance di Universitas Kyunghee, seperti dikutip Asia One, Senin, 26 Mei 2025.
Kandidat unggulan dari Partai Demokrat yang berhaluan liberal, Lee Jae-myung, mengusulkan presiden diberi dua kali masa jabatan empat tahun, dimulai dari 2030. Ia juga mendukung sistem pemilihan dua putaran dan pemberian wewenang pada parlemen untuk mencalonkan perdana menteri.
“Tanggung jawab presiden harus diperkuat, namun kekuasaannya perlu didesentralisasi,” ujar Lee dalam pidatonya pada 18 Mei.
Di sisi lain, Kim Moon-soo, calon presiden dari Partai Kekuatan Rakyat (PPP) yang konservatif, mengusulkan sistem yang serupa: masa jabatan empat tahun dengan kemungkinan dua periode.
Ia bahkan berjanji akan memangkas masa jabatannya menjadi tiga tahun jika terpilih, agar pemilu presiden dan legislatif dapat diselaraskan mulai 2028. Kim juga bersumpah menghapus kekebalan hukum bagi presiden.
Yoon Suk-yeol, yang sebelumnya berasal dari PPP, mengundurkan diri dari partai itu pada 17 Mei, beberapa hari sebelum pemilu.