Al Kareem Islamic School. Metrotvnews.com/ Antonio
Bekasi: Silvia Legina, orang tua siswa Al Kareem Islamic School menceritakan pendidikan anaknya selama bersekolah. Banyak hal yang tak sesuai dengan yang dijanjikan. Mulai dari AC yang jepret hingga kurikulum Cambridge yang kunjung diterima anaknya.
Dia menceritakan untuk masuk di sekolah tersebut harus membayar uang pangkal sebesar Rp23 juta. Lalu uang bulanan mencapai Rp2 juta. Saat anaknya mulai menjalani pendidikan yang masih K2 (setara TK), seperti sekolah internasional lainnya dia kerap menerima foto aktivitas harian.
"Di foto daily yang dikirim kepada kami, para parent, curiganya tuh nggak ada buku Pembrief juga, loh. Kok ini belajar apa ini? Kan saya bayar buat Cambridge. Tapi di fotonya tuh nggak pernah belajar pakai buku Cambridge. Maksudnya buku Cambridge-nya itu tidak pernah nongol di foto," katanya kepada Metrotvnews.com, Kamis, 19 Juni 2025.
Selanjutnya orang tua siswa di sekolah itu diminta untuk menyerahkan uang wisuda. Karena ada aturan baru, pihak orang tua pun meminta bertemu dengan Kepala Sekolah yang juga merangkap sebagai Ketua Yayasan.
Kemudian pertemuan itu pun tidak membuahkan hasil. Orang tua langsung mengajukan somasi kepada pihak sekolah. Pertama soal tidak adanya guru pendamping di TK dan hanya ada satu pengajar.
Yang kedua terkait dengan penawaran sekolah yang mengklaim akan mengajar dengan kurikulum cambridge serta menggunakan bahasa Inggris.
"Berani bayar mahal dikarenakan kita percaya ya mas dengan apa yang ditawarkan, seperti Cambridge, terus keseharian anak kita diajarkan pakai bahasa Inggris, ternyata itu bodong, cambridge-nya itu bodong. Sekolah itu belum terakreditasi dan tidak ada buku Cambridge di K2, K1 juga nggak ada," ungkapnya.
Selanjutnya pihaknya juga mempertanyakan soal biaya kegiatan sebesar Rp6,5 juta yang telah dibayar para orang tua. Saat itu pihak sekolah berjanji akan ada kegiatan visit dokter, konsultasi psikologi dan konsultasi orang tua per bulan.
"Itu nggak ada semua. Jadi nggak ada visit dokter, nggak ada konsultasi psikolog, tidak ada ekskul, alat tulis anak kita di sekolah tidak memadai, terus AC anak-anak kita juga ngejepret terus," ungkapnya.
Kemudian ada pertemuan antara orang tua, pihak sekolah dengan Dinas Pendidikan Kota Bekasi. Hasilnya, kata dia, ternyata sekolah itu tidak pernah mengurus Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) baik untuk tingkatan TK maupun SD.
Dia menilai sekolah ini telah melakukan kejahatan karena menerima anak inklusi dengan uang pangkal Rp5 juta lebih mahal dan SPP Rp1 juta lebih dengan dalih untuk pendamping. Padahal tidak ada pendamping untuk anak-anak tersebut.
Dalam pertemuan 13 Juni 2025 itu, pihak orang tua juga mempertanyakan saldo rekening dari pihak sekolah. Ternyata hanya ada sebesar Rp7 juta dan Rp7,8 juta di rekening Yayasan dan PT dari sekolah itu.
Dia menyatakan para orang tua akan terus menindaklanjuti kasus tersebut.
"Mungkin di pikiran sekolah kita tidak akan bertindak lanjut atau mengikhlaskan, oh tidak bisa. Karena ini menyangkut anak. Sekarang gini, oke lah kerugian material, tapi kan kerugian imaterialnya juga banyak," ujar Silvia.