Ilustrasi. Penangkapan debt collector ala preman. Dok. Metro TV
Jakarta: Ancaman terhadap ketertiban umum bisa datang dari mana saja, termasuk dari mereka yang mengaku menjalankan tugas penagihan utang. Fenomena mata elang atau debt collector yang nekat merampas kendaraan kreditur di jalanan kini jadi perhatian serius aparat kepolisian. Tak hanya melanggar etika, tindakan semacam itu juga berpotensi masuk ranah pidana.
Polres Metro Jakarta Utara menegaskan bahwa pihaknya akan menindak tegas setiap aksi premanisme, khususnya dari kelompok penagih utang yang kerap main rampas kendaraan di jalan. Aksi ini dinilai sudah melewati batas dan tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Kapolres Metro Jakarta Utara, Kombes Pol Ahmad Fuady, secara gamblang menyebut bahwa mereka yang melakukan perampasan atau pemaksaan akan diproses secara hukum. Penegasan ini disampaikan saat Fuady kepada wartawan, Selasa, 13 Mei 2025.
Berikut 5 fakta penting dari sikap tegas polisi terhadap aksi premanisme oleh debt collector:
1. Polisi Siap Pidanakan Debt Collector yang Rampas Motor
Polisi tak akan memberi toleransi terhadap penagih utang yang menggunakan kekerasan atau memaksa di jalanan. Hal ini berlaku terutama untuk kasus debt collector yang merampas motor milik kreditur di tengah jalan.
"Kami akan tindak tegas dan akan memprosesnya secara hukum," tegas Kombes Pol Ahmad Fuady.
Penegasan ini menjadi sinyal keras bahwa praktik seperti itu masuk dalam kategori tindak pidana dan akan ditangani secara hukum, bukan hanya sebagai pelanggaran etik penagihan.
2. Penagihan Harus Sesuai Prosedur
Fuady mengingatkan bahwa setiap aktivitas penagihan utang wajib mengikuti aturan dan prosedur yang sudah ditetapkan. Debt collector tidak bisa semena-mena mengambil kendaraan atau melakukan intimidasi di lapangan.
"Seorang debt collector dan mata elang harus sesuai dengan aturan atau prosedur ketika menagih utang," jelasnya.
Hal ini mengacu pada prinsip bahwa penagihan tidak boleh melanggar hukum, termasuk melakukan kekerasan atau pengambilan paksa barang milik kreditur.
Baca juga:
Pria di Bekasi Jadi Korban Pengeroyokan Debt Collector Palsu, Mobil Dibawa Kabur
3. Aksi Premanisme Tak Bisa Ditoleransi
Fuady menyoroti bahwa debt collector kerap bertindak bak preman di lapangan. Ia menegaskan bahwa praktik semacam itu harus dihentikan.
"Saya ingatkan supaya mereka enggak melakukan aksi pidana apalagi sampai memaksa, merampas kendaraan kreditur atau orang," ujarnya.
Menurutnya, aksi seperti itu bisa dikenakan sanksi pidana karena termasuk dalam bentuk kekerasan dan pemaksaan, yang jelas dilarang oleh hukum pidana Indonesia.
4. Masyarakat Diminta Aktif Melapor
Kapolres juga mengimbau masyarakat untuk tidak diam jika mengalami atau menyaksikan aksi premanisme dari debt collector. Ia mendorong warga untuk segera melapor ke polisi.
Laporan bisa dilakukan langsung atau melalui sambungan telepon ke nomor 110, layanan aduan kepolisian yang aktif 24 jam. Langkah ini dimaksudkan agar masyarakat merasa dilindungi dan aparat bisa segera bertindak menangani pelanggaran di lapangan.
5. Aksi Premanisme Bisa Berujung Penjara
Dalam beberapa kasus sebelumnya, tindakan brutal debt collector bahkan berujung pada hukuman pidana. Misalnya kasus yang terjadi di wilayah Jakarta Barat, di mana seorang debt collector yang membanting korban akhirnya dijatuhi hukuman penjara.
Peringatan ini menjadi pernyataan terbuka bahwa aparat tidak akan membiarkan praktik penagihan utang dilakukan dengan cara-cara kekerasan.
Sikap tegas Polres Metro Jakarta Utara menandai era baru penegakan hukum terhadap debt collector yang bertindak di luar batas. Perampasan kendaraan di jalan bukan sekadar tindakan agresif, tapi pelanggaran hukum serius. Aparat kepolisian memastikan, siapa pun yang melanggar akan berhadapan dengan proses hukum tanpa kompromi.