Menyunggi Pak Tani

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. Foto: MI/Ebet.

Menyunggi Pak Tani

Abdul Kohar • 27 September 2025 06:07

Sang kancil curi laser disc-nya pak tani

Pak tani lupa pasang alarm

Untung TV warnanya gak hilang

Untung mobil BMW-nya gak dibawa

Kapan-kapan

Semua itu akan terjadi

Entah kapan

Para petani hidup bagai orang di kota

Nggak mungkin nggak mungkin semua itu terjadi

103 tahun mungkin

Nggak mungkin nggak mungkin semua itu terjadi

100 tahun lagi mungkin'.


GRUP band Slank merilis lagu Pak Tani tersebut pada 1996. Itu artinya kemungkinan bagi petani untuk hidup sejahtera dan kaya 100 tahun kemudian, menurut 'ramalan' Slank, baru bisa terwujud pada 2096. Itu pun baru kemungkinan. Bisa jadi 103 tahun atau malah 150 tahun lagi.

Apakah pesimisme Slank hanya berpijak pada realitas saat lagu itu digubah atau memang berdasarkan hitung-hitungan matematis yang matang? Slank tentu tidak wajib bertanggung jawab atas lirik lagu mereka itu. Pertanyaan itu lebih pas diperuntukkan para pemangku kebijakan di negeri ini. Yang pasti, sejak lagu itu ditulis hingga hampir tiga dasawarsa kemudian (persisnya 29 tahun), kehidupan petani di negeri ini tak banyak berubah.

Kemungkinan petani menjadi kaya dan sejahtera 100 tahun atau 103 tahun sejak 1996 boleh jadi justru kian menjauh. Hari ini, 49% lebih dari total penduduk miskin di negeri ini berprofesi sebagai petani. Itu karena petani tak kunjung punya lahan memadai. Jumlah petani guram (hanya punya lahan 0,5 hektare atau kurang) justru meningkat, alih-alih terentaskan dan naik kelas.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah petani guram di Indonesia meningkat dari 14,25 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada 2023. Sementara itu, proporsi rumah tangga petani guram terhadap total rumah tangga petani di Indonesia juga meningkat, dari 55,33% pada 2013 menjadi 60,84% pada 2023.

Baca juga: 

Hari Tani Nasional, BRI Perkuat Dukungan Sektor Pertanian melalui Akses Pembiayaan dan Pemberdayaan Inklusif


Sensus menunjukkan jumlah rumah tangga usaha pertanian pada semua subsektor mengalami penurunan. Artinya, makin banyak keluarga yang keluar dari sektor pertanian. Sebagian lagi, dari keluarga yang punya lahan menengah, kemungkinan lahan mereka dijual sebagian sehingga mereka justru turun level menjadi guram.

Jadilah petani kita bergulat dengan persoalan dasar pertanian: kesediaan lahan. Jumlah lahan pertanian yang ada hanya 7 juta hektare. Padahal, jumlah rumah tangga petani sudah tembus 27 juta keluarga. Kondisi itu jelas sangat tidak layak untuk menggadang-gadang pertanian kita menjadi basis ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. 'Enggak mungkin, enggak mungkin, 100 tahun lagi mungkin', seru Slank.

Dalam jangka panjang, ada risiko besar dari penurunan luas lahan tersebut, yaitu penurunan produksi. Dengan lahan yang kecil, produksi menjadi terbatas. Ditambah dengan pasar yang tidak menguntungkan, akibatnya usaha yang dijalankan terus merugi. Bila ditambah anak petani tidak mau melanjutkan usaha orangtua mereka, pilihan paling logis ialah menjual lahan untuk keperluan lain.

Jadi, kesejahteraan petani memang masih amat jauh panggang dari api. Hingga peringatan Hari Tani pada pertengahan pekan ini, nilai tukar petani (NTP) sebagai indikator utama kesejahteraan petani belum memuaskan. NTP kita masih naik turun, merentang di kisaran 120 dengan NTP terakhir di 123,7. Angka itu masih jauh dari ukuran menuju sejahtera.

Ilustrasi petani. Foto: MI/Ramdani.

Bandingkan dengan Thailand yang NTP-nya bisa 130-140. Apalagi jika dibandingkan dengan petani Tiongkok yang NTP mereka berada di kisaran 140-150. Jelas, sebuah angka yang jomplang. Nilai tukar petani merupakan perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. NTP ialah salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau tingkat daya beli petani di perdesaan.

Atau, bila mau agak sophisticated atau canggih, bandingkan pendapatan petani kita dengan Jepang. Hasilnya bak bumi dan langit. Pendapatan rata-rata untuk rumah tangga sektor pertanian di Jepang mencapai 5,48 juta yen (sekitar Rp600 juta) per musim panen. Dengan asumsi satu tahun tiga kali panen, keluarga petani di 'Negeri Matahari Terbit' itu bisa mencapai Rp1,8 miliar. Dengan rata-rata UMR Jepang Rp20 juta per bulan (sekitar Rp240 juta per tahun), pendapatan sektor pertanian itu delapan kali lipat.

Sementara itu, pendapatan rata-rata lahan per rumah tangga petani di Indonesia per musim tanam ialah Rp49 juta per hektare atau sekitar Rp1,25 juta per bulan. Dengan rata-rata UMR per bulan Rp3 juta (sekitar Rp36 juta per tahun), pendapatan petani kita tidak sampai 1,5 kali rata-rata UMR. Bisakah mengejar petani Jepang? 'Enggak mungkin, enggak mungkin, 100 tahun lagi mungkin'.
Baca juga: 

Saan Mustopa Ingin Persoalan Petani Cepat Selesai


Jadi, biar mendekati kemungkinan, sudah banyak resep tersedia di rak-rak kampus hasil penelitian akademisi. Misalnya, ada yang menawarkan resep memberikan petani kita insentif. Beri insentif harga ketika harga di bawah biaya produksi atau insentif berupa kemudahan akses pembiayaan, penjualan, atau harga dasar, atau bisa juga berupa insentif pada petani yang mempertahankan lahan dengan membebaskan mereka dari pungutan pajak.

Upaya itu dinilai jauh lebih efektif ketimbang jor-joran membuka lahan pertanian baru untuk mengatasi pengurangan lahan. Upaya itu belum memberikan hasil yang sebanding dengan kerugian yang terjadi. Biayanya terlalu besar dan hasilnya belum memuaskan. Oleh karena itu, pilihan yang lebih tepat seharusnya ialah menjaga lahan yang sudah ada dan meningkatkan produktivitas melalui beragam pendampingan dan penerapan teknologi.

Terlalu lama pertanian menjadi slogan lantang janji kampanye. Buktikan bahwa pertanian dan petani memang penting. Seperti kata Bank Dunia yang menyebut pertanian sebagai salah satu alat paling ampuh untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem. Pertanian juga menjadi sumber penghidupan bagi sekitar 2,5 miliar orang di seluruh dunia. Sektor ini merupakan penyedia pekerjaan terbesar bagi rumah tangga miskin di perdesaan, selain juga 'mesin ekonomi' sebagai sumber pendapatan dan pemain kunci dalam perdagangan global.

Pemangku kepentingan harus membuktikan bahwa lirik Slank tidak benar. Sebelum ada upaya serius untuk itu, saban peringatan Hari Tani, kita bakal terus mendengar teriakan lagu itu:

'Petani bajak sawah pake traktor

Kerja rutin ngontrol ladang numpak harley

Ngitung laba panen pake komputer

Kirim order beras pake helikopter

Kapan-kapan

Semua itu akan terjadi

Entah kapan

Para petani hidup bagai orang di kota


Nggak mungkin nggak mungkin semua itu terjadi

103 tahun mungkin

Nggak mungkin nggak mungkin semua itu terjadi

100 tahun lagi mungkin'.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Anggi Tondi)