Kabid Humas PB IDI, DR. dr. Cashtry Meher, M.Kes., M.Ked(KK), Sp.DVE, MH.Kes., FINSDV. Dok. Istimewa
Setiap bangsa besar lahir dari generasi yang sehat dan kuat. Ketahanan sebuah negara tidak hanya ditentukan oleh alutsista atau cadangan devisa, tetapi juga oleh gizi rakyatnya. Di Indonesia, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) digadang-gadang sebagai strategi monumental untuk menyiapkan “generasi emas”. Namun, di balik semarak slogan dan baliho, kita dihadapkan pada problematika serius yang justru mengancam fondasi ketahanan kesehatan nasional.
Sejak diluncurkan, program ini tidak lepas dari kontroversi: mulai dari mutu makanan yang dipertanyakan, dugaan penyimpangan anggaran, hingga kasus keracunan massal di berbagai daerah.
Data per September 2025 mencatat lebih dari 5.000 siswa mengalami keracunan akibat makanan MBG di belasan provinsi. Alih-alih mencetak generasi sehat, program ini justru menimbulkan ironi: anak-anak yang seharusnya mendapat tambahan energi, malah harus dirawat di rumah sakit. Pertanyaannya, di manakah letak kesalahannya?
Ketahanan Kesehatan dalam Piring Sehari-hari
Konsep ketahanan kesehatan nasional tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan pangan bergizi. Makan bergizi gratis bukan sekadar “isi perut”, melainkan investasi jangka panjang bagi kecerdasan, produktivitas, dan daya saing bangsa. Bila fondasi ini rapuh, dampaknya bukan hanya pada kesehatan individu, tetapi juga pada kualitas sumber daya manusia.
Di sinilah letak paradoksnya. Program MBG hadir dengan anggaran superjumbo, namun eksekusinya sering kali berhenti pada “ritual distribusi” tanpa standar gizi yang jelas.
Pengalaman negara lain bisa menjadi cermin. Di Jepang, School Lunch Program bukan hanya soal memberi makan anak, melainkan juga bagian dari kurikulum: anak belajar disiplin, budaya makan sehat, dan tanggung jawab kolektif. Di Ghana, School Feeding Programme sempat diguncang kasus korupsi dan distribusi pangan yang buruk, sehingga kualitas gizi anak tetap stagnan meski program berjalan. Sebaliknya, Finlandia membuktikan bahwa makanan sekolah gratis dengan standar gizi ketat dapat meningkatkan konsentrasi belajar, menurunkan kesenjangan kesehatan, dan memperkuat kesetaraan sosial.
Artinya, kunci keberhasilan bukan pada besarnya anggaran, melainkan pada desain sistem dan pengawasan kualitas.
IDI dan Tanggung Jawab Moral Profesi
Dalam konteks ini, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memiliki peran strategis. Dengan cabang di 514 kabupaten/kota, IDI adalah organisasi profesi yang punya jangkauan nasional, otoritas moral, sekaligus kapasitas teknis untuk melakukan quality control terhadap pelaksanaan MBG.
Sudah semestinya setiap cabang IDI di daerah menjadi mitra pemerintah daerah dalam mengaudit kualitas makanan MBG: mulai dari perencanaan menu, standar higienitas, hingga evaluasi dampak kesehatan anak. Maka, program ini akan bertransformasi dari sekadar proyek politik menjadi instrumen ketahanan kesehatan nasional.
IDI memiliki kompetensi untuk melibatkan ahli gizi klinis, dokter anak, dan epidemiolog dalam menyusun standar mutu makanan sekolah. Dengan sistem audit berkala, kita bisa mencegah kasus keracunan massal, sekaligus meningkatkan kualitas gizi anak secara nyata.
Lebih jauh, keterlibatan IDI juga menjadi semacam "rem moral" agar program MBG tidak terjebak dalam politik pencitraan yang serba instan. Kehadiran dokter sebagai penjaga etika profesi menegaskan bahwa kesehatan anak bangsa bukanlah komoditas yang bisa dinegosiasikan dengan harga kontrak atau kompromi kepentingan politik jangka pendek. Justru melalui pengawasan berbasis sains, program ini akan menemukan legitimasi sosialnya: bukan sekadar karena diwajibkan oleh pemerintah, melainkan karena diakui masyarakat sebagai sebuah ikhtiar serius menjaga masa depan generasi.
Dari Kritik ke Solusi
Mengkritik tanpa memberi solusi hanyalah setengah jalan. Agar program MBG benar-benar menjadi investasi strategis bangsa, ada beberapa langkah yang bisa menjadi pemikiran bersama:
- Integrasi dengan Sistem Kesehatan Nasional. MBG harus menjadi bagian dari program nasional pengendalian gizi, bukan proyek terpisah. Kementerian Kesehatan bersama IDI dapat menyusun standar nasional menu bergizi sesuai kebutuhan usia anak.
- Quality Control Berbasis Profesi. Dengan cabang IDI di seluruh kabupaten/kota, pengawasan kualitas makanan bisa dilakukan secara independen dan berkelanjutan. Audit gizi dan keamanan pangan tidak boleh hanya mengandalkan laporan birokrasi.
- Digitalisasi Transparansi Anggaran. Dana MBG harus bisa dipantau publik secara real-time. Harga bahan pangan, kontrak katering, hingga kualitas distribusi dapat diakses oleh masyarakat. Transparansi adalah vaksin bagi korupsi.
- Pemberdayaan Petani Lokal. Bahan pangan bisa diserap dari petani desa. Ini bukan hanya menjamin kesegaran, tetapi juga memperkuat ekonomi lokal sekaligus mengurangi ketergantungan impor.
- Keterlibatan Komunitas Sekolah. Guru, orang tua, bahkan siswa dapat ikut serta dalam mekanisme pengawasan. Partisipasi publik adalah instrumen kontrol sosial yang ampuh.
Menjaga Masa Depan dari Piring Hari Ini
Program Makan Bergizi Gratis bukan sekadar soal nasi, lauk, dan sayur yang tersaji di atas meja. MBG menjadi ujian moral, politik, sekaligus peradaban. Bila gagal, maka akan dikenang sebagai kebijakan yang mengorbankan generasi emas hanya demi keuntungan segelintir elit. Bila berhasil, maka akan menjadi tonggak sejarah lahirnya bangsa yang sehat, cerdas, dan berdaya saing.
IDI siap mengambil bagian dalam perjuangan ini. Dengan jaringan di 514 kabupaten/kota, IDI bukan hanya penjaga sumpah profesi, tetapi juga penjaga masa depan generasi. Karena quality control bukan pilihan, melainkan keharusan.
Begitu pula, kesuksesan Program MBG tidak bisa hanya dititipkan kepada pemerintah melalui Badan Gizi Nasional (BGN) atau IDI semata. Dunia usaha, akademisi, masyarakat sipil, bahkan keluarga di rumah harus menanggalkan ego sektoral dan melihat bahwa investasi gizi adalah fondasi peradaban. Jika setiap sektor terus sibuk dengan kepentingannya sendiri, maka program ini hanya akan menjadi ritual seremonial tanpa ruh. Tetapi bila semua pihak berani memikul tanggung jawab kolektif, maka dari piring sederhana anak bangsa hari ini akan lahir kekuatan besar yang menentukan wajah Indonesia di masa depan.
Opini ini ditulis oleh Kabid Humas PB IDI, DR. dr. Cashtry Meher, M.Kes., M.Ked(KK), Sp.DVE, MH.Kes., FINSDV