Presiden AS Joe Biden. (EPA-EFE)
Marcheilla Ariesta • 18 November 2024 14:36
Lima: Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden melakukan pertemuan di sela KTT APEC di Lima, Peru. Pertemuan mereka menegaskan kembali komitmen kedua negara untuk mempertahankan dialog, mendorong kerja sama, dan menghindari konflik.
Beberapa tahun terakhir ini, hubungan Tiongkok-AS mengalami pasang-surut. Di Washington, mentalitas menang-kalah (zero-sum) yang meluas terhadap Tiongkok, berubah menjadi kebijakan untuk menghambat perkembangan negara Asia tersebut.
“Ada konsensus bipartisan (di Washington) bahwa persaingan strategis dengan Beijing harus berlanjut, sekalipun sedikit yang sepakat dengan tujuan akhir Amerika untuk strategi ini," kata Yilun Zhang, research associate sekaligus manajer program Perdagangan dan Teknologi di Institute for China-America Studies, dikutip dari Xinhua, Senin, 18 November 2024.
Dari tarif hingga pembatasan teknologi semikonduktor, langkah-langkah ini tidak hanya mengganggu hubungan bilateral namun juga berdampak pada seluruh rantai pasokan global.
Sementara itu, kedua negara ini memiliki pandangan dunia yang berbeda. Tiongkok mendukung visi komunitas global yang lebih adil, berkelanjutan, dan inklusif, sementara AS berupaya mempertahankan posisi dominasi mereka yang sudah berlangsung lama.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mendalam ini, pertemuan tingkat tinggi pada Sabtu itu menggarisbawahi pemahaman bersama, yaitu dengan risiko yang begitu besar, tidak ada pihak yang mampu menanggung bahaya konfrontasi.
Kedua belah pihak harus terus mencari cara yang tepat bagi dua negara besar tersebut untuk hidup rukun satu sama lain, dan mewujudkan koeksistensi damai yang langgeng di planet ini, ujar Xi dalam pertemuan itu.
"Perangkap Thucydides bukanlah sebuah keniscayaan sejarah. Perang Dingin baru tidak boleh terjadi dan tidak dapat dimenangkan," papar Xi.
Meski begitu, Tiongkok secara konsisten menolak premis ini. Di dunia yang dibentuk oleh globalisasi, di mana negara-negara saling berhubungan dan kepentingan mereka sangat terkait, Tiongkok berpendapat bahwa paradigma lama tentang politik kekuasaan harus tunduk pada visi yang lebih kooperatif.
Tujuannya, kata Xi, untuk membangun komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia.
"Amerika Serikat dapat menghindari kerugian besar yang akan timbul akibat memerangi Tiongkok dalam berbagai isu utama dengan mengadopsi jalur yang saling menguntungkan," kata Denis Simon, pakar veteran hubungan AS-Tiongkok di Duke Kunshan University.
"Saling menghormati, sensitivitas lintas budaya yang lebih besar, dan hubungan timbal balik yang lebih baik dapat membuahkan hasil yang saling menguntungkan," ujar Simon.
Dalam pertemuan Sabtu itu, Xi meminta pihak AS untuk memiliki persepsi strategis yang benar tentang Tiongkok dan memperlakukan satu sama lain secara setara.
Tujuan Negeri Tirai Bambu untuk hubungannya dengan AS yang stabil, sehat, dan berkelanjutan tetap tidak berubah, ujar Xi.
Ia menambahkan bahwa komitmen Tiongkok untuk saling menghormati, koeksistensi damai, dan kerja sama yang saling menguntungkan sebagai prinsip-prinsip dalam menangani hubungan Tiongkok-AS tetap tidak berubah.