Ilustrasi. Foto: Freepik
Atalya Puspa • 12 July 2024 10:34
Jakarta: Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (RUU KSDAHE) dinilai masih berpotensi menyebabkan kriminalisasi terhadap masyarakat lokal maupun masyarakat hukum adat. Jika cakupan pengaturan RUU KSDAHE diperluas dengan tambahan kawasan konservasi di perairan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, model kebijakan penunjukan atau penetapan kawasan konservasi yang sentralistik berpotensi menimbulkan konflik yang luas.
“Pasalnya, penetapan kawasan konservasi yang sentralistik tersebut mengasingkan peran masyarakat lokal maupun masyarakat hukum adat yang telah hidup bergantung dengan alam dalam kurun waktu yang lama secara turun-temurun,” kata Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Satrio Manggala dikutip dari laman resmi Walhi, Jumat, 12 Juli 2024.
Satrio mengatakan penetapan kawasan konservasi yang sentralistik dalam RUU ini tidak dibarengi dengan ketentuan mengenai resolusi konflik yang memadai. "Sehingga, RUU Perubahan UU KSDAHE perlu merumuskan norma mengenai resolusi konfik tenurial yang mungkin terjadi dalam kerangka konservasi SDAHE,” ujar dia.
Menurut dia, dalam RUU Perubahan UU KSDAHE, masyarakat hukum adat tidak mendapatkan ruang dalam pengelolaan kawasan konservasi. Hal ini tercermin dari pengaturan masyarakat hukum adat dalam RUU ini dengan rumusan pelibatan masyarakat hukum adat. Artinya, masyarakat hukum adat yang memiliki local wisdom dalam pengelolaan alam tidak menjadi aktor utama.
“Pengabaian rekognisi atas pengelolaan kawasan konservasi dan areal preservasi oleh masyarakat adat atau komunitas lokal tersebut berpotensi menimbulkan konflik tenurial di masa depan, di mana pada saat UU KSDAHE berlaku tidak terselesaikan dengan baik akibat landasan hukum yang tidak memadai,” ucap Satrio.
Baca Juga:
Pengesahan Revisi KSDHE Disebut Bersejarah dalam Pelestarian SDA Hayati di Masa Depan |