Presiden Sharaa Berjanji Bangun 'Suriah yang Kuat' di Setahun Tumbangnya Assad

Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa. (Anadolu Agency)

Presiden Sharaa Berjanji Bangun 'Suriah yang Kuat' di Setahun Tumbangnya Assad

Willy Haryono • 8 December 2025 17:05

Damaskus: Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa pada Senin, 8 Desember 2025, menegaskan bahwa negaranya memasuki fase baru rekonstruksi “yang layak bagi masa kini dan masa lalunya,” bertepatan dengan peringatan satu tahun runtuhnya rezim Bashar al-Assad, demikian dilaporkan Syrian Arab News Agency (SANA).

Dalam pidato seusai melaksanakan salat Subuh di Masjid Umayyah, Damaskus, Sharaa, yang tampil mengenakan seragam militer, menyampaikan bahwa Suriah siap memulai pembangunan kembali secara menyeluruh setelah lebih dari satu dekade perang meluluhlantakkan negara itu.

“Tidak ada siapa pun, betapapun besar kekuatannya, yang dapat menghalangi jalan kita. Tidak ada rintangan yang akan menghentikan kita, dan bersama-sama kita akan menghadapi setiap tantangan, insya Allah,” kata Sharaa di hadapan para jamaah.

“Dari utara hingga selatan, dari timur hingga barat, kita akan mengembalikan Suriah menjadi kuat kembali, dengan pembangunan yang layak bagi masa sekarang dan masa lalunya—pembangunan yang selaras dengan warisan kuno Suriah,” tambahnya, dikutip dari Anadolu Agency.

Sharaa menegaskan bahwa fase berikutnya dalam masa transisi akan berfokus pada “mendukung kelompok rentan dan memastikan keadilan di antara rakyat.”

Menurut SANA, Sharaa juga meletakkan sepotong kain penutup Kaabah—hadiah dari Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman—di dalam Masjid Umayyah sebagai simbol hubungan baru antara Damaskus dan Riyadh, yang sempat memburuk selama era Assad.

Latar Belakang Kejatuhan Assad dan Transisi Politik

Assad, yang memimpin Suriah selama hampir 25 tahun dan menjadi figur utama dalam rezim Partai Baath yang berkuasa sejak 1963, melarikan diri ke Rusia pada Desember tahun lalu ketika pasukan pemberontak di bawah komando Sharaa berhasil merebut Damaskus. Runtuhnya Assad menandai berakhirnya era otoritarian panjang yang bermula dari pemberontakan rakyat pada 2011 dan berkembang menjadi perang berdarah.

Sharaa, mantan komandan Hayat Tahrir al-Sham yang bertransformasi menjadi pemimpin politik, membentuk pemerintahan transisi pada Januari. Pemerintahannya berupaya menata ulang arah Suriah di panggung internasional, mendekat ke Amerika Serikat dan negara-negara Teluk Arab, serta menjauh dari sekutu lama Assad seperti Iran dan Rusia. Sejumlah sanksi Barat yang selama bertahun-tahun menekan ekonomi Suriah kini telah banyak dicabut.

Namun tantangan internal masih besar. Kekerasan sektarian dalam setahun terakhir telah menewaskan ratusan orang dan memicu gelombang pengungsian baru. Ketidakpercayaan di kalangan minoritas, termasuk Druze di selatan dan komunitas di wilayah Kurdi, masih menjadi hambatan bagi Sharaa dalam menyatukan kembali seluruh wilayah Suriah di bawah otoritas Damaskus.

Tantangan Rekonstruksi dan Kebutuhan Kemanusiaan

Perang Suriah sejak 2011 menewaskan ratusan ribu orang dan memaksa lebih dari 5 juta warganya mengungsi ke negara-negara tetangga. Dalam konferensi Reuters NEXT pekan lalu, gubernur bank sentral mengatakan kembalinya sekitar 1,5 juta pengungsi telah mendorong pemulihan ekonomi secara bertahap.

Meski demikian, Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) memperingatkan bahwa kebutuhan kemanusiaan tetap sangat kritis, dengan sekitar 16,5 juta warga Suriah diperkirakan membutuhkan bantuan pada 2025.

Sharaa mengatakan periode transisi yang ia pimpin akan berlanjut selama empat tahun untuk membangun institusi, merumuskan kerangka hukum, serta menyusun konstitusi baru yang akan diajukan melalui referendum sebelum Suriah menggelar pemilu.

Baca juga:  Setahun Tumbangnya Assad: Transisi Suriah Masih Dipenuhi Ketegangan

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Willy Haryono)