Mantan presiden Suriah Bashar al-Assad (kiri) dan Presiden Rusia Vladimir Putin. (EFE-EPA/VALERY SHARIFULIN/SPUTNIK)
Riza Aslam Khaeron • 6 December 2025 11:27
Moskow: Para loyalis dari mantan pemimpin Suriah, Bashar al-Assad, dilaporkan tengah menyalurkan jutaan dolar kepada puluhan ribu calon petempur guna memicu pemberontakan bersenjata terhadap pemerintahan baru Suriah.
Melansir Al Jazeera yang memuat hasil investigasi Reuters pada Jumat, 5 Desember 2025, laporan ini muncul menjelang satu tahun tumbangnya al-Assad, ketika pemerintah transisi di bawah Presiden Ahmed al-Sharaa berupaya mengokohkan legitimasi internasional dan menstabilkan negara yang masih rapuh.
Menurut temuan Reuters yang didasarkan pada wawancara dengan 48 narasumber serta dokumen keuangan, skema tersebut berpotensi menyulut kembali kekerasan sektarian pada masa transisi yang krusial.
Tokoh Kunci Pemberontakan
Dua tokoh yang pernah berada di lingkaran dalam al-Assad disebut bersaing dari pengasingan di Moskow untuk membangun milisi di kalangan minoritas Alawite, kelompok yang lama diasosiasikan dengan dinasti al-Assad.
Mantan Kepala Intelijen Suriah masa rezim Assad. (Asharq Al-Awsat)
Tokoh pertama adalah Mayor Jenderal Kamal Hassan, mantan kepala intelijen militer rezim Assad. Reuters menyebut Hassan pernah mengelola sistem penahanan militer yang dikenal brutal pada era rezim lama.
Ia dikabarkan kerap menelepon serta mengirim pesan suara kepada para komandan dari vilanya di Moskow, sembari menyusun rencana menguasai wilayah pesisir
Suriah, basis utama komunitas Alawite.
"Bersabarlah, bangsaku, dan jangan serahkan senjatamu. Akulah yang akan memulihkan martabat kalian," ujar Hassan dalam salah satu pesan WhatsApp yang dikaji dan dikutip Reuters, 5 Desember 2025.
Sosok kedua adalah Rami Makhlouf, sepupu al-Assad dan seorang miliarder yang pernah menggunakan imperium bisnisnya untuk mendanai diktator selama 14 tahun perang saudara.
Dalam laporan tersebut, Makhlouf disebut memosisikan diri sebagai figur mesianis yang akan kembali berkuasa melalui pertempuran final yang bersifat apokaliptik.
Meski demikian, Reuters menekankan bahwa kedua kubu juga dipenuhi friksi dan ketidakpercayaan internal di kalangan Alawite.
Reuters melaporkan bahwa kedua faksi ini, bersama kelompok lain, membiayai lebih dari 50.000 petempur demi mengamankan loyalitas.
Sepupu Bashar al-Assad, Rami Makhlouf. (Facebook via The Guardian)
Dokumen internal dan catatan keuangan yang dikaji Reuters menyebut Hassan mengklaim mengendalikan 12.000 petempur dan telah menghabiskan 1,5 juta dolar AS sejak Maret 2025.
Sementara itu, Makhlouf mengklaim memiliki sedikitnya 54.000 petempur dan telah menggelontorkan lebih dari 6 juta dolar AS untuk membayar gaji.
Namun, sejumlah komandan di lapangan menyatakan para petempur hanya menerima bayaran kecil sekitar 20–30 dolar AS per bulan dan bahkan menerima dana dari kedua pihak.
Salah satu hadiah terbesar dalam perebutan pengaruh ini adalah jaringan 14 ruang komando bawah tanah yang dibangun menjelang runtuhnya rezim al-Assad di sekitar pesisir
Suriah, lengkap dengan gudang senjata.
Foto-foto yang ditinjau Reuters menunjukkan ruangan-ruangan itu berisi senapan serbu, amunisi, granat, komputer, dan perangkat komunikasi.
Posisi Rusia
Khaled al-Ahmad. (syrianmemory.org)
Di tengah manuver para loyalis lama, posisi Moskow dilaporkan ambigu. Rusia, yang memberi suaka kepada al-Assad, disebut menahan diri untuk tidak mendukung pemberontakan.
Sebaliknya, Rusia mengalihkan fokus untuk merangkul pemerintahan al-Sharaa demi menjaga keberlanjutan pangkalan militernya di Mediterania, khususnya di Tartous. Wilayah ini juga menjadi sasaran utama ambisi kelompok yang ingin membangun kembali kekuatan Alawite.
Pemerintah baru
Suriah, menurut Reuters, menjalankan strategi tandingan melalui Khaled al-Ahmad, seorang Alawite dan teman masa kecil al-Sharaa yang kemudian mendukung oposisi saat perang berlangsung.
Ia ditugaskan untuk meyakinkan mantan tentara dan warga sipil alawite bahwa masa depan komunitas mereka berada dalam kerangka "
Suriah baru" di bawah pemerintahan pasca-al-Assad.
Otoritas lokal mengklaim telah mengantisipasi ancaman tersebut.
"Kami yakin mereka tidak akan bisa melakukan sesuatu yang efektif, mengingat lemahnya alat yang mereka miliki di lapangan," ujar Ahmed al-Shami, gubernur wilayah pesisir Tartous, dikutip dari Al-Jazeera, 5 Desember 2025.
Reuters menilai peluang pemberontakan berskala besar tetap rendah. Selain permusuhan tajam antara Hassan dan Makhlouf, Rusia belum memberikan dukungan, dan banyak warga Alawite disebut masih menyimpan kecurigaan terhadap keduanya.
Laporan ini muncul di tengah berbagai tantangan lain yang dihadapi Suriah pada tahun pertama masa transisi, termasuk serangan militer Israel yang berlanjut, tuntutan pembentukan zona penyangga, serta ketegangan sektarian yang sempat memicu kekerasan mematikan pada Maret dan Juli 2025.
Adapun laporan ini juga terbit pada pekan ketika Suriah menjadi tuan rumah kunjungan delegasi Dewan Keamanan PBB untuk pertama kalinya, menandai naiknya pengakuan internasional terhadap pemerintahan al-Sharaa.