Kasus Panji Gumilang, Ahli Agama NU Diperiksa 15 Juli

Pemimpin Ponpes Al Zaytun Panji Gumilang. Foto: Metro TV.

Kasus Panji Gumilang, Ahli Agama NU Diperiksa 15 Juli

Siti Yona Hukmana • 13 July 2023 19:14

Jakarta: Penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri terus memeriksa saksi ahli dalam kasus dugaan penistaan agama pemimpin Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun Panji Gumilang. Giliran ahli agama dari Nahdlatul Ulama (NU) akan diperiksa pada Sabtu, 15 Juli 2023.

"Rekan dari NU bersedia hadir pada hari Sabtu," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan di Lapangan Tembak Senayan, Jakarta, Kamis, 13 Juli 2023.

Namun, Ramadhan tak menyebut jumlah saksi ahli dari NU yang akan memberikan pendapat terkait kasus Panji Gumilang. Begitu pula identitasnya.

Menurutnya, penyidik hari ini memeriksa saksi ahli agama dari Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Muhammadiyah. Selain itu, penyidik juga memeriksa ahli informasi dan transaksi elektroik (ITE), sosiologi, dan hukum pidana.

Dia tak menyebut pemeriksaan itu sudah selesai atau masih berlangsung. Ramadhan mengatakan setelah pemeriksaan saksi dan ahli rampung, serta mengantongi hasil uji bukti di laboratorium forensik, penyidik akan memanggil Panji Gumilang untuk menjalani pemeriksaan kedua.

Setelah itu, penyidik akan menggelar perkara. Ekspose itu bertujuan untuk melihat cukup bukti atau tidak dalam penetapan Panji Gumilang sebagai tersangka.

Bareskrim Polri mengantongi tiga unsur pidana yang diduga dilakukan Panji Gumilang. Pertama, Pasal 156 A KUHP tentang Penistaan Agama. Kedua, Pasal 45A ayat (2) Jo 28 ayat 2 Indang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Beleid itu berbunyi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Ketiga, Pasal 14 Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengatur terkait berita bohong. Beleid itu menyebutkan barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 10 tahun.

Unsur pidana ini diketahui dari penyelidikan berbekal dua laporan polisi yang masuk ke Bareskrim Polri. Dua laporan itu adalah LP/B/163/VI/2023/SPKT/Bareskrim Polri tertanggal 23 Juni 2023 dan LP/B/169/VI/2023/SPKT/BARESKRIM POLRI 27 Juni 2023. Dengan persangkaan Pasal 156 A Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penistaan Agama.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Arga Sumantri)