Ilustrasi. Foto: dok MI/Atet Dwi.
Insi Nantika Jelita • 3 February 2025 21:26
Jakarta: Modal awal dari Badan Pengelola (BP) Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) ditetapkan sebesar Rp1.000 triliun.
Hal ini tertuang dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) nomor 131 pada Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Angka Rp1.000 triliun berdasarkan modal konsolidasi BUMN tahun buku 2023 yang sebesar Rp1.135 triliun," bunyi DIM RUU BUMN tersebut, dikutip Senin, 3 Februari 2025.
Berikutnya dijelaskan dalam DIM RUU BUMN nomor 132 disebutkan modal badan sebagaimana dimaksud dapat dilakukan penambahan melalui penyertaan modal negara dan/atau sumber lainnya. Lalu, pada poin selanjutnya dijelaskan Danantara dapat melakukan investasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, melakukan kerja sama dengan holding ivestasi, holding operasional dan pihak ketiga.
Danantara akan menaungi tujuh perusahaan pelat merah besar tersebut di antaranya:
- PT Bank Mandiri Tbk.
- PT Bank Rakyat Indonesia Tbk.
- PT PLN.
- PT Pertamina.
- PT Bank Negara Indonesia Tbk.
- PT Telkom Indonesia Tbk.
- PT Mineral Industri Indonesia (Mind ID).
Dalam hal Danantara mengalami keuntungan ditetapkan sebagai laba ke negara untuk disetorkan ke kas negara, setelah dilakukan pencadangan untuk menutup/menanggung risiko kerugian dalam berinvestasi dan/atau melakukan akumulasi modal.
Pengelolaan bisnis di Danantara diperkirakan lebih efektif
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Sinergi BUMN Institute, Achmad Yunus mengaku mendukung pembentukan Danantara. Ini karena Kementerian BUMN dianggap tidak efektif mengelola seluruh aset perusahaan negara dengan jumlah besar.
"Saya mendukung pembentukan ini. Perusahaan BUMN tidak pas dikelola di bawah kementerian. Ya, ini karena rentan dipolitisasi dan birokrasi sekali," kata dia.
Menurut Yunus, dengan menggunakan pendekatan korporasi, pengelolaan bisnis di Danantara diperkirakan lebih efektif karena memangkas rantai birokrasi. Hal ini diharapkan bisa bekerja lebih cepat menggaet investasi.
"Tidak seperti sekarang, butuh persetujuan berjenjang sampai ke tingkat menteri BUMN untuk menyetujui suatu bisnis atau kerja sama investasi. Tapi, kalau di bawah superholding, maka pendekatannya akan korporatif dan lebih efektif," ucap dia.
Kendati demikian, Yunus melihat tidak mudah mengonsolidasikan aset-aset perusahaan BUMN dengan jumlah besar. Serta, memisahkan pengaruh politik agar Danantara bisa berjalan independen.
"Transformasi perusahaan-perusahaan BUMN tentu tantangannya berat. Bagaimana juga mengubah kebiasaan-kebiasaan model kementerian menjadi murni korporasi dan melepas kepentingan politik," jelas dia.