Menilik Kesuksesan Argentina dalam Efisiensi Anggaran yang Bisa Dicontoh Indonesia

Presiden Argentina, Javier Milei, 10 Desember 2024. (EFE/ Enrique García Medina)

Menilik Kesuksesan Argentina dalam Efisiensi Anggaran yang Bisa Dicontoh Indonesia

Riza Aslam Khaeron • 9 February 2025 13:37

Jakarta: Argentina menjadi pusat perhatian dunia karena keberhasilannya dalam menerapkan kebijakan efisiensi anggaran dan birokrasi yang dipimpin oleh Presiden Javier Milei. Dalam setahun terakhir, negara ini tidak hanya mencatat surplus anggaran untuk pertama kalinya sejak 2008, tetapi juga berhasil memangkas inflasi secara signifikan.

Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto di Indonesia tengah berupaya mengimplementasikan efisiensi belanja negara dengan target Rp306 triliun tanpa melakukan upaya perombakan kabinet "gemuk" Merah Putih saat ini.

Dibanding Indonesia, Argentina memiliki pendekatan yang berbeda terkait upaya penghematan anggaran yang mungkin bisa dipelajari dalam mengembangkan birokrasi negeri.
 

Efisiensi Argentina: Langkah Drastis Milei


Javier Milei, yang terpilih sebagai Presiden Argentina pada November 2023, menghadapi warisan ekonomi yang berat: inflasi 211%, resesi, dan kemiskinan tinggi. Dalam setahun, Milei menerapkan langkah-langkah drastis untuk mengurangi pengeluaran pemerintah.

Menurut laporan Friedrich Naumann Foundation for Freedom (Freiheit), salah satu langkah utamanya adalah memangkas jumlah kementerian dengan menghapus atau menggabungkan beberapa kementerian dan badan pemerintah.

Total kementerian yang tersisa hanya sembilan: Kementerian Luar Negeri, Ekonomi, Keamanan, Pertahanan, Sumber Daya Manusia, Keadilan, Infrastruktur, Kesehatan, dan Dalam Negeri. Sebelumnya, Argentina memiliki 18 kementerian.

Berdasarkan data dari TASS, pengurangan ini juga mencakup penyederhanaan jumlah sekretariat dari 106 menjadi 54, yang menghasilkan pengurangan 50% pada posisi kepemimpinan pegawai negeri dan pengurangan 34% pada jumlah total jabatan politik.

Menurut laporan Cato Institute yang dirilis pada 12 Januari 2024, Milei juga mengambil langkah besar lainnya, seperti devaluasi peso agar mendekati nilai pasar, penghentian sementara proyek infrastruktur publik, dan penghapusan subsidi untuk transportasi dan energi.

Selain itu, ia meluncurkan paket reformasi ekonomi setebal 350 halaman yang berisi rencana privatisasi perusahaan negara, termasuk maskapai nasional Aerolineas Argentinas. Cato Institute menyebut reformasi ini sebagai "langkah historis untuk melepaskan Argentina dari eksploitasi sosialisme selama beberapa dekade."

Freiheit mencatat bahwa kebijakan ini memungkinkan Argentina mencatat surplus anggaran bulanan sejak Januari 2024, kecuali untuk Juli. Milei menggunakan surplus ini untuk merestrukturisasi utang besar Argentina kepada IMF sebesar $44 miliar.

“Dengan disiplin fiskal yang diperkenalkan, Argentina dapat membuka peluang investasi asing yang lebih luas,” tulis Freiheit dalam laporannya yang dirilis pada 22 November 2024

Salah satu pencapaian besar kebijakan Milei adalah pengurangan inflasi. Mengutip France 24 pada Sabtu, 14 Januari 2025, inflasi tahunan Argentina turun drastis menjadi 117,8% pada 2024, turun hampir 94 poin dari sebelumnya. Angka ini menunjukkan efek langsung dari program stabilisasi fiskal Milei.

Dalam tiga bulan terakhir 2024, inflasi bulanan Argentina bahkan bertahan di bawah 3% untuk pertama kalinya dalam lebih dari empat tahun.

Namun, langkah-langkah ini bukan tanpa konsekuensi. Penghapusan subsidi untuk transportasi publik, energi, dan makanan memicu kenaikan tajam harga kebutuhan pokok. Sebagian besar warga miskin harus beradaptasi dengan harga yang jauh lebih tinggi.

Kebijakan pemangkasan anggaran ini juga menyebabkan protes besar-besaran, dengan lebih dari lima juta orang jatuh ke dalam kemiskinan pada paruh pertama 2024.
 
Baca Juga:
Trump Perpanjang Status 'Darurat Nasional' untuk Myanmar
 

Kondisi dan Perbandingan dengan Indonesia

Sementara itu, di Indonesia, kebijakan efisiensi anggaran menjadi tantangan besar. Berdasarkan laporan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Inpres No. 1/2025 yang dikeluarkan Presiden Prabowo Subianto menargetkan efisiensi belanja negara hingga Rp306 triliun.

Namun, Guru Besar UGM, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, menyebut bahwa budaya boros di birokrasi Indonesia menjadi penghalang utama.

“Kementerian dan lembaga di pusat maupun daerah terbiasa dengan belanja besar untuk keperluan rutin, seperti alat tulis kantor, rapat teknis, dan unsur penunjang lainnya,” ujar Wahyudi. Bahkan, jumlah kementerian dan lembaga pemerintah di Indonesia bertambah dari 34 menjadi 48, yang jelas membutuhkan anggaran lebih besar.

Kebutuhan anggaran untuk mendirikan kementerian baru, termasuk fasilitas kantor, operasional, dan staf, turut menambah beban belanja negara. "Kabinet sekarang tidak mungkin lebih hemat karena jumlah kementeriannya lebih besar dan kebutuhan biayanya juga meningkat," ujar Wahyudi pada Rabu, 8 Januari 2025.

Wahyudi menyoroti bahwa beberapa kementerian justru membutuhkan anggaran lebih besar, seperti Kementerian HAM yang meminta tambahan anggaran dari Rp64 miliar menjadi Rp20 triliun pada bulan Januari.

Namun, pada Februari 2025, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah telah melakukan pemangkasan besar-besaran di berbagai sektor. Salah satu kementerian yang terdampak signifikan adalah Kementerian HAM, yang mengalami pemangkasan drastis dari Rp174 miliar menjadi hanya Rp37 miliar.

Sementara itu, Kementerian Koordinator Pangan juga menghadapi pemangkasan meskipun sebelumnya mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp 505 miliar. Kemudian mengalami efesiensi anggaran sebesar Rp27,6 miliar atau 62,6 persen dari pagu anggaran Rp44 miliar.

"Bagaimana kita bisa menghemat sampai 50 persen jika kebutuhan anggaran kementerian justru meningkat?" kata Wahyudi.

Jika dibandingkan, pendekatan Argentina dan Indonesia dalam menangani anggaran berbeda signifikan. Di Argentina, jumlah kementerian dan badan pemerintah dipangkas untuk menekan anggaran. Sebaliknya, di Indonesia, penambahan kementerian justru memperbesar pengeluaran.

Sebagai contoh, Argentina berhasil menciptakan surplus anggaran meskipun diwarnai dengan kontroversi penghapusan subsidi. Di sisi lain, Indonesia masih bergulat dengan budaya birokrasi boros yang sulit diubah.

Wahyudi juga menyoroti bahwa pemangkasan anggaran seperti perjalanan dinas, meski penting, sulit diterapkan karena pola birokrasi yang cenderung memaksimalkan anggaran. Program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), yang strategis untuk pengentasan stunting, membutuhkan komitmen efisiensi yang lebih besar agar memberikan hasil optimal.

Tanpa perombakan adanya upaya birokrasi, Indonesia akan sulit mencapai tingkat efisiensi yang diharapkan seperti Argentina.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Surya Perkasa)