Presiden Rusia Vladimir Putin batal bertemu dengan Donald Trump. Foto: Anadolu
Washington: Rencana pertemuan langsung antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Budapest mengalami kegagalan pada Selasa 21 Oktober 2025, setelah Trump mengusulkan "pembekuan" perang di sepanjang garis depan saat ini.
Keputusan ini menandai kebuntuan diplomasi terbaru dalam upaya mengakhiri perang Rusia-Ukraina yang telah berlangsung 42 bulan, sekaligus memperpanjang ketidakpastian bagi masa depan Ukraina.
"Saya tidak ingin mengadakan pertemuan yang sia-sia. Saya tidak ingin membuang-buang waktu," ujar Trump dalam pernyataannya di Gedung Putih, dikutip dari Al-Jazeera, Kamis, 23 Oktober 2025.
Usulannya untuk membekukan konflik di garis kontak saat ini di mana Rusia menguasai sekitar 78 persen wilayah Donbas telah ditolak Kremlin. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menegaskan "konsistensi posisi Rusia tidak berubah," sambil mengulang tuntutan pelucutan senjata Ukraina dan pengakuan wilayah yang telah dicaplok Rusia.
Dukungan Eropa
Para pemimpin Eropa bersama Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy justru menyatakan dukungan "sangat" terhadap proposal Trump dalam pernyataan bersama Selasa lalu. Mereka menegaskan "garis kontak saat ini harus menjadi titik awal negosiasi" sambil menuduh Putin melakukan "taktik penundaan" dan memilih "kekerasan dan kehancuran."
Janji untuk "meningkatkan tekanan pada ekonomi Rusia" menunjukkan konsolidasi sikap Barat meski ada perbedaan pendekatan dengan Washington.
Namun Moskow bersikukuh pada posisi maximalis. Menlu Rusia Sergey Lavrov dalam pembicaraan dengan Menlu AS Marco Rubio menegaskan Rusia hanya akan mengakhiri perang setelah "menghilangkan penyebab utama konflik", merujuk pada pelucutan senjata Ukraina dan pengembalian wilayah.
Tuntutan rahasia Rusia untuk menguasai seluruh Donbas, bukan hanya bagian yang sudah didudukinya, memperlihatkan ekspektasi yang justru meningkat seiring waktu.
Dinamika kebijakan Trump
Posisi Trump telah mengalami fluktuasi signifikan, dari ancaman sanksi keras terhadap Rusia pada Maret, tekanan pada Zelensky untuk menyerah wilayah di KTT Alaska Agustus, hingga kembali mendukung Ukraina merebut kembali wilayahnya pada September. Inkonsistensi ini mencerminkan kompleksitas mediasi dan tarik-ulur kepentingan dalam pemerintahan Trump sendiri.
Kegagalan diplomasi ini memperpanjang penderitaan warga sipil dan memperburuk krisis keamanan Eropa. Dengan tidak adanya mekanisme gencatan senjata, pertempuran diperkirakan akan meningkat menyongsong musim dingin, sementara Ukraina terus kehilangan nyawa dan wilayah.
Tidak terpenuhinya permintaan rudal Tomahawk dalam kunjungan Zelenskyy pekan lalu semakin membatasi kemampuan ofensif Ukraina, mengisyaratkan pembatasan dukungan AS di tengah kebuntuan politik. Masa depan konflik kini tergantung pada apakah koalisi pendukung Ukraina dapat menyatukan strategi yang efektif menghadapi determinasi Rusia.
(Muhammad Adyatma Damardjati)