Ilustrasi. Foto: Freepik.
Ade Hapsari Lestarini • 8 May 2025 08:50
Jakarta: Tingginya realisasi investasi di Indonesia sepanjang kuartal I-2025 harus bisa dimanfaatkan pemerintah untuk meningkatkan daya beli dan menyejahterakan masyarakat. Untuk dapat mewujudkan itu, hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah memberi kemudahan bagi investor untuk bisa memulai kegiatan bisnisnya.
"Di dunia industri Indonesia, ada daftar urutan hambatan investasi. Hambatan nomor satu itu masalah regulasi, mulai dari perizinan, perpajakan, pengadaan tanah, macam-macam," papar Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPSI), Jumhur Hidayat, dalam keterangannya, dikutip Kamis, 8 Mei 2025.
Sementara dinamika perburuhan hanya menempati urutan ke-11 dari daftar faktor yang menghambat masuknya modal ke Indonesia. Menurut Jumhur, tuntutan peningkatan kesejahteraan yang digaungkan kelompok buruh di Indonesia tidak terlalu berpengaruh ke minat investor.
"Untuk upah ini kan ada benchmarking-nya. Apa yang dituntut buruh itu masih masuk akal dibandingkan dengan di Vietnam atau Filipina," jelas dia.
Pada akhir April lalu Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi nilai investasi selama periode Januari-Maret 2025 mencapai Rp465,2 triliun. Angka tersebut meningkat 15,9 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp401,5 triliun.
Jumhur berpendapat, saat ini adalah momentum bagi pemerintah untuk merealisasikan janjinya menyejahterakan masyarakat. Caranya adalah dengan memangkas perizinan, sehingga semakin banyak tenaga kerja yang terserap oleh industri yang otomatis mengurangi jumlah pengangguran.
"Izin-izin itu kan duit semua. Nah pemerintah itu tahu dan bisa, kalau semua itu di drop maka perusahaan-perusahaan bisa tumbuh dan memberikan kesejahteraan yang layak bagi buruh. Itu tugasnya pemerintah," jelas dia.
Ilustrasi. Foto: Freepik
Biaya berbisnis pengusaha di Indonesia
Pertengahan 2024 lalu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) merilis hasil riset yang menyebutkan
cost of doing business atau biaya yang dikeluarkan untuk berbisnis pengusaha di Indonesia paling tinggi dibandingkan empat negara tetangga lainnya yaitu Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Menjadikan Indonesia negara yang tidak kompetitif dari kaca mata pelaku industri.
Menurut Apindo biaya tinggi yang dikeluarkan pengusaha di antaranya untuk membayar logistik, serta bunga pinjaman bank. Biaya logistik Indonesia mencapai 23,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia yang hanya 13 persen serta tertinggal jauh dari Singapura yang hanya delapan persen. Kemudian suku bunga kredit di Indonesia berkisar antara 8-14 persen, lebih tinggi dari empat negara lainnya yang hanya 4-6 persen.
"Jangan semua dibebankan ke pengusaha. Pemerintah harusnya bantu pengusaha di situ. Biaya logistik turunin dong, bayar bunga bank jangan ketinggian dong. Kasihan loh pengusaha. Dia pinjam duit untuk modal harus bayar bunga 14-15 persen, kan gila," keluh Jumhur.
Bunga tinggi yang diminta perbankan sebagai syarat pemberian kredit menurut mantan Kepala BNP2TKI adalah salah satu contoh hal tidak produktif yang merugikan Indonesia.
"Negara tetangga bisa cuma 6-7 persen, lalu kenapa bunga bank di Indonesia harus sampai 13-15 persen untuk UMKM dan lain-lain. Jadi keuntungan sebagian besar diambil untuk hal-hal yang nggak produktif. Tapi kalau itu dikembalikan ke perusahaan, dikembalikan ke buruh, itu menjadi daya beli dan jadi penghidupan lagi bagi yang lain," kata dia.
Menurut dia, KSPSI sangat percaya pemerintah bisa merealisasikan misi menyejahterakan rakyat. Terlebih, Presiden Prabowo Subianto sangat mengedepankan dialog dengan semua elemen rakyat untuk membangun Indonesia. Jumhur berpendapat rendahnya daya beli masyarakat Indonesia saat ini adalah imbas dari kebijakan-kebijakan pemerintahan sebelumnya yang harus diurai satu per satu.
"
Carry over yang paling parah dan mengerikan dari kebijakan masa lalu adalah daya beli masyarakat yang terpukul habis. Bayangkan di 2014 itu saldo harian rata-rata rakyat di perbankan masih Rp3,8 juta. Sekarang tinggal Rp1,3 juta, artinya daya beli anjlok. Kalau orang nggak punya duit, industri juga pasti terpukul," kata Jumhur.
Oleh karena itu, untuk bisa mengembalikan daya beli masyarakat, Jumhur kembali mendesak pemerintah untuk bisa mempermudah investasi yang masuk. Sekaligus menekan biaya berbisnis yang harus dikeluarkan pengusaha. Harapannya dengan semakin banyak pembukaan lapangan kerja, maka uang yang dibelanjakan para buruh bisa kembali menggerakkan roda perekonomian.
"Pemerintah sebagai pembuat kebijakan saat ini sangat terbuka untuk mendapat masukan orang-orang yang berkecimpung langsung di bidang-bidangnya. Anggaplah selama enam bulan sampai satu tahun ke depan ini adalah fenomena kesementaraan. Semoga dengan berdialog dan membuat kebijakan yang tepat bisa menghasilkan hasil yang baik bagi rakyat," kata dia.