Presiden Venezuela Nicolas Maduro. (Anadolu Agency)
Muhammad Reyhansyah • 2 September 2025 14:45
Caracas: Presiden Venezuela Nicolas Maduro pada Senin, 1 September, bersumpah akan secara konstitusional mendeklarasikan "republik bersenjata" apabila negaranya diserang oleh pasukan Amerika Serikat (AS) yang dikerahkan ke wilayah Karibia.
Maduro menuduh delapan kapal perang AS dengan "1.200 rudal" sedang diarahkan ke negaranya, menyebut langkah itu sebagai "ancaman terbesar yang pernah dilihat benua kita dalam 100 tahun terakhir.”
Langkah Washington memperkuat armada laut di sekitar Venezuela dilakukan dengan dalih memberantas kartel narkoba Amerika Latin. Meski belum ada sinyal invasi darat, ribuan personel tambahan akan masuk kawasan dalam pekan ini.
Kapal perang yang dikerahkan meliputi dua Aegis guided-missile destroyer, USS Gravely dan USS Jason Dunham ditambah USS Sampson dan USS Lake Erie. Armada itu akan diperkuat tiga kapal serbu amfibi dengan lebih dari 4.000 marinir dan pelaut.
Maduro merespons dengan mengerahkan pasukan ke sepanjang pantai dan perbatasan dengan Kolombia, serta menyerukan rakyat Venezuela untuk bergabung dengan milisi sipil.
“Dalam menghadapi tekanan militer maksimum ini, kami menyatakan kesiapan maksimal untuk pertahanan Venezuela,” katanya, seperti dikutip CBS News, Selasa, 2 September 2025.
Washington menuduh Maduro memimpin sebuah kartel narkoba dan menggandakan hadiah buruan atas dirinya menjadi US$50 juta. Trump juga telah mengarahkan Pentagon menggunakan kekuatan militer terhadap kartel yang diklasifikasikan sebagai organisasi teroris, termasuk satu kelompok dari Venezuela.
Namun, Menteri Luar Negeri Venezuela Yván Gil menyebut operasi AS itu dibangun di atas “narasi palsu.” Mengutip laporan PBB, ia mengatakan 87% kokain Kolombia disalurkan lewat Samudra Pasifik, sedangkan hanya 5% yang lewat Venezuela.
“Langkah ini mengancam seluruh kawasan dan bila Venezuela diserang, akan terjadi destabilisasi total,” kata Gil dalam pertemuan virtual CELAC.
Maduro juga kembali menegaskan dirinya sebagai pemenang pemilu 2024, meski bukti kuat menunjukkan sebaliknya dan sejumlah negara, termasuk AS, tidak mengakuinya sebagai presiden sah.
Ia menyebut masih ada dua jalur komunikasi dengan pemerintahan Trump, baik lewat Departemen Luar Negeri maupun utusan khusus Richard Grenell. Sementara itu, ia menuding Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio sebagai “panglima perang” yang mendorong aksi militer di Karibia.
Pemimpin oposisi María Corina Machado justru menyambut pengerahan armada AS, menyebutnya sebagai “pendekatan tepat” terhadap rezim Maduro yang disebutnya “perusahaan kriminal.”
Namun Maduro memperingatkan: “Setiap aksi militer AS terhadap Venezuela akan menodai tangan Trump dengan darah.”
Baca juga: Venezuela Mobilisasi 4,5 Juta Milisi untuk Hadapi Armada AS di Karibia