Connective Peace Communication: Narasi Digital di Tengah Gelombang Unjuk Rasa

Kennorton Hutasoit, jurnalis senior Metro TV. Foto: Dok/Istimewa

Connective Peace Communication: Narasi Digital di Tengah Gelombang Unjuk Rasa

1 September 2025 08:07

Oleh: Kennorton Hutasoit*

Gelombang demonstrasi yang kini melanda sejumlah kota di Indonesia mengingatkan kita betapa rentannya ruang publik ketika politik, ekonomi, dan emosi bercampur menjadi satu. Jika dua dekade lalu televisi menjadi panggung utama, kini media sosial khususnya TikTok, Instagram, dan X, berubah menjadi arena pertarungan narasi. Gambar-gambar penjarahan, bentrokan, dan kemarahan menyebar lebih cepat daripada analisis jernih.

Fenomena ini bukanlah hal baru. Dalam penelitian saya terhadap pertarungan wacana politik Papua pada Pemilu 2019 dan 2024, saya menemukan bagaimana ruang digital membentuk solidaritas dan konflik sekaligus. Dari temuan itulah lahir sebuah gagasan yang saya sebut Connective Peace Communication (CPC).

CPC berangkat dari teori connective action (Bennett & Segerberg, 2012) yang menjelaskan bagaimana narasi personal di media sosial bisa terkoneksi menjadi aksi kolektif. Namun, saya melihat ada satu celah: teori itu belum menjawab bagaimana aksi konektif bisa diarahkan menuju perdamaian, bukan sekadar mobilisasi konflik.

Dalam konteks Papua, saya menemukan tiga mekanisme yang bekerja: (1) narasi-jejaring, di mana individu dan kelompok saling menghubungkan pesan; (2) vektor emosi, yaitu saluran marah, harapan, empati, dan solidaritas; dan (3) peace framing, yakni kerangka narasi yang menekankan dialog, non-anarkistis, dan deliberatif. Ketiganya dapat melahirkan peaceful publics: publik damai yang kritis, tapi tidak destruktif.
 

Baca juga: Ini Keterangan Lengkap Presiden Prabowo terkait Situasi Bangsa Terkini

Dalam demonstrasi hari-hari ini, kita bisa menyaksikan connective action bekerja nyata: ribuan video pendek terkoneksi, memunculkan identitas “rakyat vs elite.” Emosi digital, amarah, solidaritas, juga keputusasaan yang memperkuat mobilisasi. Namun tanpa peace framing, amarah bisa berubah menjadi anarki.

Inilah risiko besar era demokrasi digital: narasi bergerak lebih cepat daripada regulasi, sementara media arus utama justru kehilangan kepercayaan. Jika energi kolektif rakyat tidak diarahkan, unjuk rasa bisa menjelma kerusuhan yang meluas. CPC hadir bukan untuk mensterilkan kritik, tetapi untuk memastikan bahwa narasi digital tidak terjebak pada spiral kekerasan.

Di sinilah pentingnya CPC: komunikasi damai tidak berarti menutup mata terhadap ketidakadilan, melainkan mengarahkan energi kolektif agar tetap deliberatif. Demo damai, siaran warga, dan ruang diskusi publik bisa menjadi instrumen demokrasi, selama narasi yang diproduksi tidak jatuh pada perusakan.

Sayangnya, media arus utama sering kali terjebak dalam ketakutan regulasi dan tekanan politik. Liputan menjadi minim, padahal publik haus informasi. Akibatnya, media sosial mengambil alih peran, walau penuh risiko hoaks dan framing liar.

Lebih jauh, pola pemberitaan yang muncul pun sering kali menekankan kerusakan akibat demonstrasi, benturan, pembakaran, penjarahan, sementara substansi tuntutan publik justru terpinggirkan. Narasi tentang aspirasi rakyat tidak memperoleh porsi yang setara. Akibatnya, wacana publik seolah tereduksi pada citra anarki, bukan dialog demokratis.
 
Baca juga: SETARA Institute: Penjarahan Bukan Bagian dari Demonstrasi

Ironisnya, setelah berhari-hari demonstrasi berlangsung, dengan sejumlah peristiwa kerusuhan dan kerugian material, barulah Presiden tampil dalam konferensi pers bersama pimpinan partai politik dan Ketua DPR RI untuk mengumumkan bahwa besaran tunjangan DPR yang dituntut massa dibatalkan. Bahkan, disertai kebijakan moratorium perjalanan dinas ke luar negeri. Artinya, tuntutan massa sejatinya memang memiliki dasar yang rasional, tapi pengakuan itu datang terlambat, setelah energi sosial terlanjur tersulut.

Dengan demikian, Connective Peace Communication (CPC) dapat dipahami sebagai sebuah kerangka komunikasi baru yang menggabungkan aksi konektif digital, vektor emosi, dan bingkai perdamaian untuk menghasilkan publik damai (peaceful publics). CPC bukan sekadar deskripsi fenomena, melainkan sebuah abstraksi teoretis: bahwa energi konflik dalam ruang digital dapat diarahkan melalui narasi dan jejaring menuju ekspresi politik yang deliberatif, non-anarkistis, dan konstruktif.

CPC menawarkan jalan tengah: media dapat berperan sebagai kurator damai. Alih-alih blackout, media bisa menayangkan konten publik yang diverifikasi, memberi konteks, dan mendorong narasi non-kekerasan. Dengan begitu, televisi dan portal berita tetap relevan di tengah arus digital.
 
Teori Connective Peace Communication (Hutasoit, 2025) adalah ikhtiar untuk mempertemukan dua dunia: riset akademik dan praktik jurnalisme. Dari Papua ke Jakarta, dari ruang digital hingga ruang aksi, kita belajar bahwa konflik bisa saja tak terelakkan. Namun komunikasi yang cerdas, terkoneksi, dan berorientasi damai mampu mengubah energi konflik menjadi solidaritas yang konstruktif.
 
Jika demonstrasi adalah suara rakyat, maka komunikasi damai adalah nadanya. Dengan CPC, kita tidak hanya berteriak, tetapi juga mengatur harmoni. Sebab demokrasi sejatinya bukan soal siapa yang paling keras, melainkan siapa yang mampu membangun masa depan bersama tanpa harus saling melukai. []


*Penulis adalah Jurnalis dan Doktor Ilmu Komunikasi Unpad

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Misbahol Munir)