Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Foto: Anadolu
Brussels: Para pemimpin Uni Eropa menggalang dukungan bagi Ukraina dalam pertemuan darurat pada Kamis 6 Maret 2025, sementara Amerika Serikat (AS) mengumumkan bahwa pembicaraan dengan Kyiv telah kembali dijadwalkan untuk membahas kemungkinan gencatan senjata dengan Rusia.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky tiba di Brussels setelah insiden diplomatiknya dengan Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih pekan lalu menyebabkan Washington menghentikan bantuan militer serta berbagi intelijen dengan Kyiv.
Setelah pertemuan tersebut, Zelensky berupaya memperbaiki hubungan, dan utusan AS untuk konflik Rusia-Ukraina, Steve Witkoff, mengonfirmasi bahwa negosiasi baru akan segera dimulai.
"Saya senang dengan permintaan maaf Zelensky," ujar Witkoff, seraya menambahkan bahwa ia akan bertolak ke Arab Saudi untuk berbicara dengan perwakilan Ukraina mengenai gencatan senjata awal dengan Rusia serta penyusunan kerangka kesepakatan jangka panjang.
Seorang pejabat senior di Kyiv menyatakan bahwa delegasi Ukraina dan AS dijadwalkan bertemu pada Selasa mendatang di Riyadh, meskipun Witkoff mengisyaratkan bahwa lokasi pertemuan masih dapat berubah antara Riyadh atau Jeddah.
Zelensky mengonfirmasi kepada para pemimpin Eropa bahwa diskusi antara Kyiv dan Washington telah kembali berjalan.
"Kami berharap pekan depan akan ada pertemuan yang berarti," kata Zelensky
Ia juga mengucapkan terima kasih atas dukungan Uni Eropa di tengah kekhawatiran bahwa pendekatan AS ke Rusia dapat memaksa Ukraina menerima kesepakatan yang tidak menguntungkan.
Eropa perkuat pertahanan
Keputusan Trump untuk mengurangi keterlibatan AS dalam perang Ukraina telah menimbulkan keraguan atas komitmen Washington terhadap sekutu NATO di Eropa. Hal ini mendorong Uni Eropa untuk mengambil langkah-langkah baru guna meningkatkan pertahanan mereka.
Mengutip dari
Channel News Asia, Jumat 7 Maret 2025, dalam pertemuan tersebut, 27 pemimpin Uni Eropa menyetujui rencana yang disusun oleh Komisi Eropa untuk mengalokasikan dana sebesar €800 miliar atau sekitar Rp14.086 triliun guna meningkatkan pertahanan di tengah ancaman dari Rusia.
"Ancaman terhadap Eropa saat ini nyata dan mendesak, sehingga kita harus mampu melindungi diri sendiri," ujar Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.
Ia menambahkan bahwa keputusan ini merupakan "momen krusial" bagi Ukraina dan masa depan benua Eropa.
Sementara itu, Kanselir Jerman yang akan datang, Friedrich Merz, mendorong reformasi besar untuk membiayai peningkatan belanja pertahanan negaranya. Presiden Prancis Emmanuel Macron juga menyerukan lonjakan anggaran pertahanan dan membuka diskusi tentang kemungkinan memperluas perlindungan nuklir Prancis bagi sekutu-sekutunya di Eropa.
"Siapa yang bisa percaya bahwa Rusia saat ini akan berhenti di Ukraina?" kata Macron dalam pidato nasionalnya. "Saya ingin percaya bahwa Amerika Serikat akan tetap berada di sisi kita, tetapi kita harus siap jika hal itu tidak terjadi."
Upaya diplomasi Eropa untuk gencatan senjata
Di tengah upayanya untuk menjaga hubungan baik dengan Washington, Zelensky menyatakan kesiapannya untuk bernegosiasi menuju kesepakatan damai di bawah kepemimpinan Trump serta menyelesaikan kesepakatan terkait akses AS ke sumber daya mineral Ukraina.
Namun, Kanselir Jerman yang akan segera lengser, Olaf Scholz, memperingatkan bahwa setiap kesepakatan damai harus tetap menjamin "kedaulatan dan kemerdekaan" Ukraina, dan menolak kemungkinan adanya "perdamaian yang dipaksakan".
Langkah Trump yang langsung berkomunikasi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dalam mencari solusi perang dan tanpa melibatkan Kyiv maupun mitra Eropa memicu kekhawatiran di kalangan pemimpin Eropa.
Di sisi lain, situasi ini mendorong Inggris untuk lebih erat bekerja sama dengan Uni Eropa, lima tahun setelah meninggalkan blok tersebut. Perdana Menteri Inggris Keir Starmer kini bekerja sama dengan Macron untuk menjembatani hubungan antara Trump dan Zelensky.
Bersama, mereka mengusulkan gencatan senjata selama satu bulan yang mencakup penghentian serangan udara, laut, dan infrastruktur energi. Mereka juga menyerukan pembentukan "koalisi negara yang bersedia" untuk mendukung inisiatif ini, dengan seorang pejabat Inggris menyatakan bahwa pembicaraan dengan sekitar 20 negara sedang berlangsung.
Para pemimpin Eropa juga membahas kemungkinan memberikan "jaminan keamanan" kepada Ukraina sebagai bagian dari kesepakatan damai. Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah pengiriman pasukan Eropa ke Ukraina, meskipun Rusia dengan tegas menolak kehadiran pasukan asing di wilayah tersebut dan bersikeras bahwa gencatan senjata sementara bukanlah solusi akhir.
Meskipun pertemuan ini menegaskan kembali dukungan Eropa bagi Kyiv, tidak ada pengumuman baru mengenai bantuan tambahan bagi Ukraina selain dana €30 miliar atau sekitar Rp529 triliun yang telah dialokasikan tahun ini.
Sementara itu, Norwegia, yang bukan anggota Uni Eropa, mengumumkan peningkatan lebih dari dua kali lipat bantuan untuk Ukraina pada 2025, dengan total bantuan mencapai Rp127 triliun.
Beberapa negara Uni Eropa berpendapat bahwa dana yang telah dialokasikan saat ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan Ukraina, meskipun bantuan dari AS masih tertahan.
(Muhammad Reyhansyah)