Penurunan Tarif AS Tak Jamin Ekspor Tekstil Lebih Kompetitif, Produk RI Masih Kalah Saing

Ilustrasi industri sepatu. Foto: MI/Susanto.

Penurunan Tarif AS Tak Jamin Ekspor Tekstil Lebih Kompetitif, Produk RI Masih Kalah Saing

Insi Nantika Jelita • 21 July 2025 15:20

Jakarta: Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai meskipun tarif bea masuk ke Amerika Serikat (AS) turun, tidak menjamin ekspor dan impor produk tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia lebih kompetitif dibandingkan negara kawasan regional.

Padahal, tarif Indonesia saat ini sebesar 19 persen tergolong lebih rendah dibandingkan negara-negara pesaing di ASEAN seperti Thailand (36 persen), Laos (40 persen), Malaysia (25 persen), dan Vietnam (20 persen).

Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus menjelaskan berdasarkan simulasi menggunakan model Global Trade Analysis Project (GTAP) versi 11, ekspor TPT Indonesia ke AS diperkirakan turun dengan minus 4,88 persen. Sementara, impor juga anjlok sekitar 1,65 persen.

"Kemungkinan ekspor (TPT) akan turun lumayan besar. Jadi, belum tentu tarif kita lebih kecil dari negara-negara lain, ekspornya dibilang aman-aman saja," kata Heri dalam diskusi daring Indef bertajuk Tarif Amerika Turun, Indonesia Bakal Untung, Senin, 21 Juli 2025.

Menurutnya, penyebab utama penurunan ekspor adalah daya saing Indonesia yang lemah. Dibandingkan negara pesaing seperti Vietnam, India, dan Bangladesh, Indonesia masih kalah dalam hal efisiensi biaya produksi.
 

Baca juga: Tarif 19 Persen dari AS Jadi Angin Segar bagi Industri Padat Karya Indonesia


(Presiden AS Donald Trump menunjukan daftar negara-negara dengan besar tarif yang dikenakan. Foto: EPA-EFE/KENT NISHIMURA/POOL)
 

Rogoh modal lebih besar


Salah satu indikatornya, ungkap Heri, adalah nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang masih lebih tinggi, artinya untuk menghasilkan satu unit barang dibutuhkan modal lebih besar.

Sebagai contoh, untuk memproduksi sepasang sepatu, Indonesia membutuhkan biaya sekitar USD8. Di Vietnam bisa memproduksi sepatu serupa dengan biaya dasar yang jauh lebih murah. Sehingga, meski dikenakan tarif 20 persen, harga produknya diperkirakan tetap lebih kompetitif di pasar AS.

"Meski, tarif lebih tinggi, tapi dasarnya (biaya) sudah murah, bisa jadi pasar mereka juga lebih kompetitif di AS. ICOR kita sampai hari ini masih lebih tinggi dibandingkan negara kawasan lain," jelas Heri.

Heri menyoroti banyak pihak yang hanya melihat besaran tarif sebagai faktor utama, tanpa mempertimbangkan komponen biaya produksi lainnya, seperti harga listrik, energi, logistik, dan transportasi. Jika seluruh komponen ini masih mahal, maka meskipun tarif bea masuk rendah, harga akhir produk Indonesia tetap lebih tinggi dibandingkan produk dari negara lain.

"Selama ini kita terlalu optimis karena tarif kita lebih rendah. Padahal, negara seperti Vietnam, Malaysia, dan Bangladesh telah melakukan efisiensi produksi. Jadi, meskipun dikenakan tarif lebih tinggi, produk mereka tetap lebih murah di pasar," terang dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)