Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi. Foto: MI/Ebet
Media Indonesia • 22 September 2025 06:29
KEPUTUSAN plinplan merujuk pada kondisi putusan dibuat, diumumkan kepada publik, lalu dicabut. Keputusan seperti itu memperlihatkan pembuatnya sudah lelah berpikir.
Diksi lelah berpikir hanya untuk memperhalus tidak berpikir sebagai syarat eksistensi. Kata Rene Descartes, cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada. Jika merujuk diktum Descartes, sejatinya banyak lembaga yang tidak ada karena keputusan diambil tanpa berpikir, setidaknya pura-pura berpikir.
Sudah banyak keputusan lembaga yang baru saja dibuat, diumumkan kepada publik, lalu dianulir lagi. Keputusan dibuat tanpa berpikir secara matang, kemudian viral, dengan gampang dikoreksi. Itu namanya menjadi waras setelah viral.
Istilah kerennya viral based policy. Maksudnya menganulir keputusan setelah ramai-ramai masyarakat menolak kebijakan tersebut. Jumlah jari tangan tidak mencukupi lagi untuk menghitung viral based policy yang dibuat institusi negara.
Pola viral based policy hampir sama. Keputusan diambil tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Diambil secara sembunyi-sembunyi, tidak langsung diumumkan saat itu juga. Pandai menyembunyikan bau anyir kepentingan.
Sepandai-pandainya menyembunyikan keputusan, baunya tercium juga. Bau keputusan itu dipersoalkan seseorang di media sosial kemudian ramai-ramai netizen mengecamnya, menjadi trending lalu viral. Tahap selanjutnya media arus utama mengangkat isu tersebut dan institusi pembuat keputusan ketar-ketir, balik kanan, langsung menganulir keputusan mereka. Biasanya disertai basa-basi setelah mendengarkan aspirasi masyarakat.
Contoh teranyar ialah Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 731 Tahun 2025 yang mengecualikan dokumen persyaratan capres-cawapres, termasuk ijazah, dari akses publik. Keputusan itu dicabut dengan Keputusan KPU Nomor 805 Tahun 2025 tertanggal 16 September 2025.
Keputusan 731 diterbitkan pada 21 Agustus 2025. Setelah 24 hari kemudian, tepatnya pada 14 September 2025, sebuah akun X salam4jari mengunggah dua halaman keputusan itu disertai caption: 'KPU bikin aturan rahasiakan data capres dan cawapres. Ada apa?'.
Sejak 14 September itulah Keputusan KPU 731 menjadi viral. Ramai-ramai netizen menyuarakan keputusan KPU itu bertujuan untuk melindungi pemilik ijazah tertentu. Keputusan KPU 731 dihujat ramai-ramai.
Hingga Senin, 15 September 2025, KPU masih ngotot mempertahankan keberadaan Keputusan 731. Kata Ketua KPU Mochammad Afifuddin, keputusan itu sejalan dengan UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Media arus utama pun menjadikan isu tersebut sebagai berita utama. Sehari kemudian, 16 September 2026, KPU membatalkan Keputusan 731.Berlangganan koran cetak
Menarik disimak penjelasan Afifuddin saat konferensi pers pembatalan Keputusan 731. Kata dia, secara kelembagaan KPU mengapresiasi partisipasi, masukan, dari berbagai pihak serta masyarakat pascaterbitnya Keputusan Nomor 731 Tahun 2025. Pertanyaannya, mengapa partisipasi masyarakat tidak dilibatkan sebelum mengambil keputusan?
Partisipasi masyarakat diatur dalam Pasal 96 UU 12/2011, terakhir diubah dengan UU 13/2022, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Disebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan hak itu, pembentuk peraturan perundang-undangan menginformasikan kepada masyarakat tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XIII/2020 secara tegas menyebutkan partisipasi masyarakat yang bermakna: hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Amat disayangkan bahwa KPU mendengarkan aspirasi masyarakat setelah viral. Padahal, komisioner KPU merupakan orang-orang pilihan yang mempunyai integritas, berkepribadian yang kuat, jujur, dan adil. Mestinya KPU mendengarkan aspirasi masyarakat sebelum keputusan dibuat.
Meskipun Afifuddin menepis anggapan Keputusan 731 tidak berkaitan dengan isu ijazah palsu, masyarakat tidak mudah memercayainya. Satu yang pasti, kredibilitas lembaga terjun bebas, keputusan viral based policy justru melahirkan ketidakpercayaan.
Disadari atau tidak, KPU terhanyut dalam fenomena no viral no justice. Fenomena yang terkenal dalam sistem penegakan hukum bahwa keadilan baru dihadirkan jika suatu kasus viral di media sosial. Begitu kuatnya opini publik sampai-sampai hukum pun bertekuk lutut. Kali ini KPU bertekuk lutut kepada viral.
Viral based policy dalam keputusan KPU memperlihatkan secara telanjang fenomena lelah berpikir pada saat pengambilan keputusan. Padahal, Keputusan 731 yang diteken pada 21 Agustus 2025 itu merujuk pada uji konsekuensi yang dilakukan pada 6 Agustus 2025. Uji konsekuensi itu dilakukan 14 orang.
Jika Keputusan 731 lahir dari pikiran yang matang, mengapa ia harus dicabut? Putusan itu bertekuk bukan pada undang-undang, melainkan pada derasnya viral. Ketika viral menjadi palu, hukum hanya bergema, mengulang suara yang sudah ramai. Sebelum viral mengetuk palu, biarkan publik bersuara.