Jakarta: Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyampaikan pembelaan atas pernyataan Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita terkait sulitnya membangun
manufaktur Indonesia dan mudah untuk menghancurkannya. Pernyataannya ini dianggap telah diputarbalikkan oleh sebuah media
online.
Dalam editorialnya, media tersebut menulis pernyataan Menperin merupakan sebuah retorika keluh kesah tanpa solusi atau bahkan merupakan sebuah kegagalan. Media
online tersebut mengungkapkan editorialnya yang berjudul "Menperin Retorika Keluh-Kesah Bukti Kinerja Tanpa Solusi Holistik" yang dimulai dengan pertanyaan pembuka "Sulit Bangun Manufaktur, Retorika atau Kegagalan?".
"Kami mengajak publik mencermatinya secara obyektif dan komprehensif. Upaya ini sejalan dengan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas publik yang senantiasa didorong Menperin dan jajarannya ketika merespons kritikan publik terhadap kebijakan dan program industri," kata Jubir Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief menanggapi pemberitaan tersebut, dalam siaran pers yang diterima Minggu, 18 Mei 2025.
Editorial mendasarkan argumentasinya pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atas Kemenperin. Beberapa poin temuan dalam LHP BPK terkait Kemenperin diungkap dalam tulisan tersebut antara lain masalah struktural berupa lemahnya koordinasi antara Kemenperin dengan Kementerian/Lembaga lain seperti Kemendag terkait proteksi industri tekstil dalam negeri dan data
supply-demand pada Kemendag terkait dengan impor bahan baku obat tetap bergantung pada Tiongkok.
Tulisan ini juga menyinggung mengenai lemahnya pengawasan implementasi TKDN pada proyek pemerintah seperti proyek tol Jawa di Kementerian PUPR yang tidak memprioritaskan menggunakan bahan baku lokal. Mengacu LHP BPK, editorial ini juga menulis ketidakjelasan hilirisasi nikel sehingga saham smelter nikel 95 persen dikuasai asing dan minim alih teknologi ke SDM lokal.
Terakhir, inti argumentasi editorial ini adalah Menperin tidak menjalankan rekomendasi temuan pemeriksaan BPK RI sehingga hal tersebut dinilai sebagai bentuk kegagalan Menperin menjalankan kebijakan industrialisasi dan pernyataannya hanyalah pernyataan retorika keluh kesah tanpa solusi. Hal ini juga diperkuat dengan kesimpulan dan pesan tulisan yang menyatakan penyebab manufaktur sulit bangkit karena banyak tumpukan LHP BPK RI di meja Menperin (yang tidak ditindaklanjuti).
Sanggahan Kemenperin
Dalam sanggahannya, Febri mengungkapkan jika editorial ini terbukti dengan sengaja memotong pernyataan pernyataan lengkap Menperin yang disampaikan pada
doorstop dengan wartawan setelah acara Mata Lokal Tribunnews.com pada Kamis (8/5) di Hotel Shangrilla, Jakarta.
Pada saat itu, Menperin menyampaikan membangun manufaktur sangat sulit dan tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh waktu bertahun-tahun membangunnya. Sebaliknya, menghancurkannya sangat mudah dan bisa dilakukan dalam waktu singkat. Cukup dibuka saja kran produk impor murah masuk ke pasar domestik maka industri akan tertekan, menurunkan utilisasi produksi dan bahkan bisa menutup pabriknya.
"Konteks pernyataan Menperin ini adalah mencermati upaya Presiden AS Trump untuk mengembalikan manufaktur kembali berproduksi di negaranya. Upaya tersebut dengan dilakukan dengan menaikkan tarif BMI (Bea Masuk Impor) pada seluruh negara yang didasarkan pada defisit pada neraca dagang Amerika dengan negara-negara lain di dunia," jelas dia.
"Upaya Presiden Trump membangun kembali manufaktur dilakukan melalui pemberlakuan kebijakan
tarif resiprokal setelah ekonomi Amerika Serikat telah lama meninggalkan sektor manufaktur dan menjadi negara yang mengandalkan sektor jasa dan perdagangan," tambah Febri.
Di sisi lain, lanjutnya, Menperin menghadapi berbagai hambatan dan tantangan dalam membangun manufaktur sejak 2019. Berbagai gejolak ekonomi global, tekanan demand pasar domestik, investasi serta dampaknya bagi manufaktur dalam negeri dan telah membawa Menperin pada pernyataan retoris yang sarat makna dan pro industri tersebut.
"Jadi, Pak Menperin tidak dalam posisi beretorika keluh kesah dalam ruang publik. Ataupun Pak Menperin juga tidak mengungkap kegagalan dalam membangun industrialisasi Indonesia sejak 2019. Akan tetapi, kita perlu belajar dari Amerika Serikat ketika manufaktur sudah masuk tahap deindustrialisasi dan telah ditinggalkan menjadi negara jasa maka akan sulit balik kembali menjadi negara yang perekonomiannya mengandalkan manufaktur," papar Febri.
"Manufaktur Indonesia beberapa tahun lalu, saat ini, dan ke depan harus selalu menjadi andalan perekonomian Indonesia terutama untuk dalam membentuk job creation dan penciptaan nilai tambah," lanjut Febri.
(Jubir Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief. Foto: dok Biro Humas Kemenperin)
Temuan BPK ditindaklanjuti Kemenperin
Kemudian, Kemenperin juga telah menindaklanjuti berbagai temuan pemeriksaan BPK RI setiap tahunnya dan tindak lanjut temuan tersebut telah mendapatkan penilaian dari BPK RI. Sampai saat ini, Kemenperin telah menindaklanjuti 85 persen temuan LHP BPK. Sisanya, 15 persen temuan tersebut masih dalam proses penyelesaian tindak lanjut. Hal ini membuktikan tidak ada LHP BPK yang menumpuk di meja Menperin. Semua temuan dan rekomendasinya ditindaklanjuti dengan baik dan sungguh-sungguh.
"Jadi, kami membantah LHP BPK menumpuk di meja Menperin. Semua temuan dan rekomendasi BPK RI sudah ditindaklanjuti setiap tahunnya. Kami juga siap diperiksa oleh BPK RI dan lembaga pengawas lainnya terkait dengan kebijakan, pelaksanaan program dan anggaran Kemenperin. Tidak ada yang kami sembunyikan. Kami transparan dan patuh terhadap semua peraturan perundang-undangan terkait pengawasan yang berlaku di Indonesia dan oleh karena itu, hal tersebut merupakan bukti Pak Menperin berkomitmen mengimplementasikan good governance di Kemenperin," ujar Febri.
Menyoal pernyataan retoris Menperin serta menilai apakah Menperin gagal atau tidak membangun manufaktur, Febri menekankan seharusnya menggunakan indikator kebijakan industrialisasi dan kinerja manufaktur. Semua bahan tersebut tersedia pada RIPIN (Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional), KIN (Kebijakan Industri Nasional), Renstra Kemenperin, data statistik lembaga pemeringkat asing dan nasional, serta data BPS (Badan Pusat Statistik).
Data temuan LHP BPK RI merupakan salah satu data dan bahan untuk mendukung argumentasi tulisan tersebut. Namun, temuan LHP BPK bukanlah satu-satunya bahan dan data mendukung argumentasinya apalagi jika temuan LHP BPK tersebut telah ditindaklanjuti oleh Kemenperin dan dinilai selesai oleh BPK RI.
"Temuan BPK yang telah ditindaklanjuti oleh Kemenperin dan dinyatakan selesai oleh BPK RI tidak dapat dijadikan bahan dan data tulisan mengevaluasi kebijakan industri Indonesia. Oleh karena itu, penulis editorial di media online tersebut perlu mencermati bahan tulisannya tersebut terutama apakah bahan atau data tersebut sudah tidak menjadi temuan lagi karena sudah dinyatakan selesai oleh BPK RI," kata Febri.
Lebih lanjut Febri menyampaikan tulisan yang menggunakan indikator yang tepat dan data yang valid, dapat digunakan untuk menganalisis keberhasilan kebijakan dan program industrialisasi Indonesia. Semua bahan dan data itu sudah tersedia dengan baik dan bisa diakses oleh publik. Kami dari Kemenperin sangat mengapresiasi tulisan yang berisi kritikan seperti itu.
"Terakhir, kami membantah kesimpulan editorial media online tersebut, terutama kesimpulan yang menyatakan Menperin gagal membangun manufaktur dan juga membantah Menperin hanya menyampaikan pernyataan retorika keluh kesah tanpa solusi," tutur Febri.