Ilustrasi. Medcom.id
Siti Yona Hukmana • 27 October 2024 15:38
Jakarta: Mafia hukum semakin merajalela. Negara diminta melakukan berbagai upaya dalam memberantas mafia, salah satunya kodifikasi hukum atau menyusun peraturan baru ke dalam KUHP.
"Pertama harus ada kodifikasi hukum yang bersifat berlaku secara universal, kita itu belum ada namanya yurisprudensi atau suatu perkara yang mirip kemudian arahnya sama karena hukumnya kuat atau lemah misalnya. Sehingga, ada perkara yang gampang harusnya menang tidak menang, harusnya kalah malah menang," kata Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman kepada Metrotvnews.com, Minggu, 27 Oktober 2024.
Boyamin mengatakan harus ada metodologi untuk kemajuan sistem hukum Indonesia di dalam KUHP. Terlebih, perdata belum ada ada undang-undangnya. Melainkan, hanya berpedoman pada peninggalan Belanda.
"Kegiatan hukum perdata kita belum ada undang-undangnya, jadi ini yang perlu dibenahi, banyak hal yang kemudian memang untuk memberantas mafia hukum," ujarnya.
Menurutnya, permasalahan hukum sering kali terjadi karena terbatasnya peraturan. Sehingga, seorang pengacara bahkan jebolan lembaga bantuan hukum (LBH) yang terbiasa menangani kasus secara kuat dari data saja kesulitan untuk menentukan apakah bisa menang atau kalah dalam mendampingi penanganan sebuah kasus.
"Nah, negara-negara maju hukumnya itu bisa diprediksi misalnya kalau kasus ini kalah itu ada karena alasannya jelas," ujar Boyamin.
Berbeda dengan hukum di Indonesia. Boyamin mencontohkan kasus di sebuah Kabupaten di Jawa Tengah terkait sengketa tanah yang dulunya pemberian keraton. Putusannya bisa berbeda, ada yang memutus adalah warisan ada yang memutus bukan warisan. Padahal di pengadilan negeri yang sama, bahkan ketika banding dan kasasi dua putusan itu bertolak belakang.
"Ini kita akan selalu sulit memberantas mafia hukum kalau hukum kita selau tidak jelas. Nah, maksud saya untuk memberantasnya hukum kita harus jelas," ujar Boyamin.
Dia menekankan penegak hukum mulai dari Kepolisian, Kejaksaan hingga pengadil di pengadilan harus ada kepastian hukum dan profesional. Misal, kata dia, bila menangani kasus penipuan ya penipuan jangan kasus penipuan menjadi kasus penggelapan.
Begitu pula kasus perdata yang harus diselesaikan secara perdata bukan pidana. Menurut Boyamin, hal-hal yag sifatnya perjanjian kerap kali dibawa ke ranah penipuan, penggelapan, dan pemalsuan. Akhirnya, terjadi kongsi bisnis dan saling lapor yang mengakibatkan tidak sehatnya iklim bisnis karena tercampur hukum pidana.
"Jadi dua hal itu, pertama tentang yurisprudensi harus kuat. Kedua, hentikan kriminalisasi terhadap kegiatan-kegiatan bisnis. Kalau sudah bisnis ya selesaikan dengan badan arbitrase, pengadilan dengan kepailitan cukup begitu. Polisi tidak boleh masuk lagi, karena dengan polisi masuk ini menjadi sesuatu yang sangat jungkir balik," tekannya.
Boyamin melanjutkan banyak kasus perdata menjadi penipuan dan penggelapan. Kemudian, di pengadilan ada yang diputus bebas dan ada yang diputus bersalah padahal perkaranya mirip. Hal ini dipandang menjadi ladang pada mafia hukum untuk bermain.
"Itu saja sebenarnya, dua hal itu kalau bisa dituntaskan banyak hal yang bisa kita dapat kemajuan bahwa mafia hukum akan semakin berkurang dan bisa diberantas," terang dia.
Terakhir, Boyamin mengatakan gaji penegak hukum harus tinggi supaya tidak nakal. Namun, bila masih nakal, kata dia, para penegak hukum itu siap-siap untuk dihajar habis-habisan dengan menerapkan pasal yang maksimal dan berlapis.
"Kalau soal yang terakhir ya kalau ada penegak hukum nakal ya dihajar habis, diberikan hukuman yang tinggi, dipecat, dan dimiskinkan supaya efek jera mau ndak mau," ujarnya.
Sebelumnya, tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya ditangkap kasus suap dalam vonis bebas terdakwa pembunuhan Gregorius Ronald Tannur. Ketiga hakim itu ialah Erintuah Damanik (ED) sebagai Hakim Ketua, Mangapul (M), dan Heru Hanindyo (HH) sebagai hakim anggota dalam perkara Ronald Tannur.
Kemudian, menangkap seorang pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat selaku pemberi suap. Terakhir, Kejaksaan Agung (Kejagung) juga meringkus mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar (ZR). Zarof ditangkap atas kasus suap untuk membebaskan Ronald pada tahap kasasi di MA. Zarof diminta Lisa memberikan uang Rp5 miliar kepada tiga hakim MA berinisial S, A, dan S.