Krisis Kelaparan Gaza: Ujian Nyata bagi Komitmen Kemanusiaan Dunia

Warga Gaza yang mengantre untuk mendapatkan makanan. Foto: Anadolu

Krisis Kelaparan Gaza: Ujian Nyata bagi Komitmen Kemanusiaan Dunia

Fajar Nugraha • 1 August 2025 11:02

Jakarta: Sejak 7 Oktober 2023, dunia kembali menyaksikan babak baru dari penderitaan panjang rakyat Palestina. Serangan besar-besaran Israel ke Jalur Gaza, yang disebut sebagai respons atas perlawanan bersenjata Hamas, mengakibatkan kehancuran luar biasa dan memperparah krisis kemanusiaan di sana.

Namun ketika dentuman bom perlahan mereda dibanding fase-fase awal perang, ancaman yang lebih sunyi namun tak kalah mematikan muncul: kelaparan yang menjalar ke seluruh lapisan masyarakat Gaza.

Lebih dari 147 warga Gaza meninggal akibat kelaparan dan malnutrisi akut, menurut laporan Kementerian Kesehatan Gaza pada Senin, 28 Juli 2025. Angka ini mencakup puluhan anak-anak dan bayi, yang meninggal bukan karena terkena rudal, tetapi karena tidak memiliki cukup susu dan gizi untuk bertahan hidup.

Dalam sepekan terakhir saja, lebih dari 100 kematian akibat kelaparan tercatat di Gaza, menjadikan kondisi ini sebagai krisis kemanusiaan yang tidak bisa lagi diabaikan.

Perang Israel-Hamas tidak hanya menumpahkan darah, tapi juga menghancurkan sistem distribusi pangan, air bersih, dan layanan kesehatan di Gaza. Lebih dari setahun sejak konflik dimulai, wilayah ini nyaris terisolasi dari dunia luar. Rumah sakit kolaps, infrastruktur hancur, dan yang paling tragis: anak-anak tumbuh dalam tubuh yang kian kurus, dengan mata yang kehilangan harapan.

Dalam beberapa momen, Israel mengumumkan jeda kemanusiaan. Namun jeda itu tidak pernah benar-benar menghadirkan bantuan yang cukup. Truk bantuan tertahan di perbatasan, udara penuh drone dan ketegangan, dan titik distribusi makanan berubah menjadi tempat penembakan. Meski komunitas internasional terus mendesak, bantuan kemanusiaan tidak pernah mengalir dengan lancar ke Gaza.

Pemerintah Israel beralasan bahwa mereka takut bantuan akan jatuh ke tangan Hamas. Kekhawatiran ini, meski bisa dimengerti dari perspektif keamanan, tidak bisa dijadikan dalih untuk membiarkan ratusan ribu warga sipil, terutama anak-anak, menanggung kelaparan. Dalam perang, selalu ada jalur tengah antara logika keamanan dan nilai-nilai kemanusiaan, yang tampaknya sudah semakin kabur dalam kasus Gaza.

Pengakuan Trump

Upaya distribusi bantuan melalui udara, melalui laut, dan bahkan rencana “tenda bantuan” yang digagas Amerika Serikat (AS), semuanya menunjukkan bahwa dunia tahu: Gaza sedang sekarat. Namun semua metode itu tidak menyelesaikan persoalan secara struktural. Bantuan yang datang seperti setetes air di tengah padang pasir. Tidak cukup, tidak merata, dan sering kali datang terlambat.

Baru-baru ini, antara Juni hingga akhir Juli 2025, krisis kelaparan di Gaza mencapai titik nadir. Laporan dari PBB, WHO, dan World Food Programme menyebut dua dari tiga indikator kelaparan ekstrem telah terpenuhi. Namun dunia masih terpecah, antara negara-negara yang menekan Israel untuk membuka blokade dan yang justru memperkuat status quo atas nama geopolitik.

Tekanan internasional terhadap Israel memang mulai meningkat. Sebagai respons, Israel mengumumkan jeda kemanusiaan harian selama 10 jam di beberapa wilayah. Bahkan Presiden AS Donald Trump, yang sebelumnya terkesan acuh, kini mengakui adanya kelaparan besar di Gaza. Ia menyampaikan niat untuk mendirikan tenda bantuan makanan.

Pernyataan Trump dapat dipandang sebagai suatu pengakuan diam-diam, bahwa narasi “tidak ada kelaparan di Gaza” sudah tidak relevan lagi.

Namun pernyataan atau gestur semacam itu hanya akan menjadi kosmetik diplomatik jika tidak disertai langkah nyata membuka akses bantuan yang aman dan konsisten. Dunia tidak bisa membiarkan Gaza berubah menjadi eksperimen sejarah: bagaimana sebuah komunitas manusia dibiarkan mati perlahan dalam kelaparan, sambil dunia menatap layar berita dengan rasa iba tanpa daya.

Cerminan kegagalan kolektif

Kelompok yang paling rentan, yaitu anak-anak, perempuan hamil, orang tua, sudah semestinya menjadi prioritas mutlak. Jika komunitas internasional tidak dapat menjamin bahkan kebutuhan dasar satu bayi pun di Gaza, maka kegagalan itu bukan hanya milik Israel atau Hamas, tapi kegagalan kolektif seluruh kemanusiaan.

Kelaparan bukan sekadar bencana alam atau efek samping dari konflik. Ia adalah hasil kebijakan, baik yang aktif maupun pasif. Maka tanggung jawab moral atas tragedi ini ada di tangan para pembuat kebijakan, pemimpin dunia, dan organisasi internasional yang memiliki kekuatan untuk mengubah arah.

Bencana kelaparan yang kini melanda Gaza bukanlah sekadar konsekuensi dari konflik bersenjata, melainkan cerminan dari kegagalan kolektif dalam memastikan akses kemanusiaan yang adil dan berkelanjutan.

Komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa bantuan mencapai mereka yang membutuhkan, tanpa terhambat oleh dinamika politik atau kepentingan jangka pendek. Menyelamatkan nyawa, terutama kelompok rentan seperti anak-anak dan perempuan, harus menjadi prioritas yang melampaui perbedaan pandangan dan kepentingan geopolitik.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Fajar Nugraha)