Ilustrasi. Foto: dok MI.
M Ilham Ramadhan Avisena • 23 July 2025 16:02
Jakarta: Presiden Prabowo Subianto kembali mengutarakan keresahannya terhadap praktik keserakahan dalam ekonomi nasional. Dalam berbagai pidatonya, ia menyebut akar dari ketimpangan sosial dan ekonomi di Indonesia tak lain adalah suburnya budaya keserakahan, yang ia sebut dengan serakahnomics.
Istilah tersebut ia gunakan untuk menggambarkan fenomena Indonesia, yang memiliki kekayaaan sumber daya namun masih menyisakan kemiskinan struktural bagi mayoritas rakyatnya.
Ekonom dari Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai istilah serakahnomics yang dilontarkan Presiden Prabowo merupakan kritik tajam terhadap praktik ekonomi yang menyimpang dari prinsip keadilan sosial.
"Serakahnomics adalah praktik ekonomi yang tidak memiliki pijakan ilmiah, tidak berlandaskan moral publik, dan tidak berpihak pada rakyat," kata Syafruddin saat dihubungi, Rabu, 23 Juli 2025.
(Ilustrasi. Foto: dok Istimewa)
Pejabat rangkap jabatan
Dia menyoroti bagaimana praktik tersebut menjelma menjadi budaya kekuasaan yang menormalisasi rente dan penyalahgunaan jabatan publik. Menurut dia, apa yang dimaksud dengan serakahnomics tumbuh dalam ruang kekuasaan yang tidak transparan, di mana jabatan publik dirangkap demi honorarium ganda, proyek negara dikemas demi rente dan loyalitas politik.
Dalam kondisi seperti itu, kebijakan ekonomi tidak lagi berpijak pada efisiensi dan kepatutan, melainkan pada kepentingan elite semata. Itu bahkan bukan hanya terjadi di tingkat nasional, tetapi juga merefleksikan tren global.
Karenanya, Syafruddin mendorong pemerintah untuk mengambil sikap tegas. Ia mendorong agar Presiden Prabowo mengambil langkah historis dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) tentang larangan praktik serakahnomics di sektor publik. Menurut dia, larangan eksplisit akan menjadi dasar moral dan politik untuk membenahi struktur ekonomi yang timpang.
"Inpres ini akan menjadi penegasan jabatan publik adalah amanah, bukan ladang akumulasi privilese. Fungsi negara adalah melayani, bukan mengeruk, arah pembangunan seharusnya kembali berpijak pada keadilan sosial dan kepentingan rakyat banyak," kata Syafruddin.