Yogyakarta: Kejaksaan memastikan pelaksanaan restorative justice (RJ) dilakukan dengan mekanisme ketat dan berjenjang. Hal iu guna mencegah penyimpangan, termasuk potensi praktik transaksional.
Hal itu disampaikan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Yogyakarta, Suroto, dalam Talkshow Sound of Justice yang digelar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM). Menurutnya, setiap permohonan RJ akan ditelaah secara mendalam oleh jaksa, meskipun secara administratif telah memenuhi syarat.
“Ketika syarat-syarat itu sudah terpenuhi, kami juga meneliti lebih jauh kondisinya, masyarakatnya, kemudian kepribadian pelaku, perilaku pelaku di masyarakat gimana. Jadi tidak serta merta memenuhi syarat, langsung kami ajukan RJ,” tegas Suroto Rabu, 19 Juni 2025.
Ia menjelaskan, beberapa kriteria penting yang harus dipenuhi agar sebuah perkara dapat diselesaikan melalui mekanisme RJ, antara lain: Tersangka merupakan pelaku pidana untuk pertama kali. Ancaman hukuman terhadap perkara tidak lebih dari lima tahun. Adanya kesepakatan damai antara korban dan pelaku. Respons masyarakat terhadap proses perdamaian bersifat positif.
Selain memenuhi syarat tersebut, Kejari juga melakukan profiling terhadap tersangka untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai kondisi sosial dan psikologis pelaku di masyarakat.
Pengawasan Berlapis Cegah Penyimpangan
Penegasan serupa juga disampaikan Kasubdit Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Perbankan Direktorat UHLBEE Jampidsus, Agustinus Herimulyanto. Ia menekankan bahwa proses RJ dilakukan dengan selektif dan melalui pengawasan berlapis dari Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, hingga Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) dan Jaksa Agung.
“Mekanisme RJ yang dilakukan Kejaksaan sangat selektif dan berjenjang. Kejari dan Kejati harus memaparkan ke Jampidum. Artinya, semua keputusan RJ langsung terkontrol oleh Jampidum dan Jaksa Agung,” ujar Agustinus dalam sesi diskusi talkshow tersebut.
Pernyataan ini muncul di tengah sorotan publik terhadap kasus restorative justice atas perkara pencurian sepeda motor (curanmor) yang dialami warga Yogyakarta bernama Tegar. Permohonan RJ dalam kasus tersebut sebelumnya ditolak oleh kepolisian, namun akhirnya diterima oleh Kejaksaan.
Satgas 53 mengawasi pelaksanaan RJ
Sebagai langkah antisipatif, Kejaksaan RI telah membentuk Satuan Tugas 53 (Satgas 53) berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor 261 Tahun 2020. Satgas ini bertugas mendeteksi dan mencegah secara dini potensi penyalahgunaan wewenang, penyimpangan, hingga perbuatan tercela dalam pelaksanaan tugas kejaksaan, termasuk dalam implementasi restorative justice.
Dengan mekanisme berlapis dan pengawasan ketat ini, Kejaksaan menegaskan komitmennya untuk menjaga integritas pelaksanaan keadilan restoratif, serta memastikan bahwa pendekatan hukum yang humanis tetap dalam koridor objektivitas dan akuntabilitas.