Penerapan Aturan Justice Collaborator Bebas Bersyarat Harus Jelas dan Khusus

Ilustrasi. Medcom

Penerapan Aturan Justice Collaborator Bebas Bersyarat Harus Jelas dan Khusus

Devi Harahap • 22 June 2025 22:33

Jakarta: Langkah pemerintah yang mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 2025 tentang penanganan khusus dan pemberian penghargaan kepada saksi terdakwa (justice collaborator), diapresiasi. PP tersebut menegaskan tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum, bisa mendapatkan keringanan dan pembebasan bersyarakat jika membantu mengungkap tindak pidana dalam kasus yang sama dengan syarat tertentu.

“Aturan justice collaborator bertujuan baik bagi peradilan karena membantu mengungkap kejahatan, termasuk tindak pidana terorganisir seperti korupsi, dan mempermudah pembuktian serta penuntutan,” kata pakar hukum perdata dan pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, kepada Media Indonesia, Minggu, 22 Juni 2025.

Fickar menjelaskan penerapan justice collaborator harus dilakukan dengan metode yang jelas dan hanya berlaku pada kasus khusus seperti tindak pidana dengan kerugian yang besar. Dalam kasus korupsi, seseorang bisa menjadi justice collaborator jika dapat mengungkap pelaku inti dan mengembalikan hasil tindak pidana.

“Terdakwa yang bisa menjadi justice collaborator  atau terdakwa yang bekerjasama itu, pada substansinya untuk menangkap ikan besar (the big fish) dari suatu kejahatan. Jadi bukan sekedar kerjasama memberikan kesaksian menangkap pelaku lain tetapi tidak mempunyai peran yang berarti,” jelas dia.
 

Baca Juga: 

Presiden Prabowo Teken Aturan Baru, Justice Collaborator Bisa Bebas Bersyarat


Artinya, lanjut Fickar, justice collaborator akan lebih efektif diterapkan pada kasus-kasus kejahatan besar atau ekstra ordinary crime, seperti korupsi dan terorisme atau kejahatan lain yang membahayakan negara. 

Fickar menekankan Presiden sebagai kepala negara memang memiliki hak prerogatif untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Namun, dalam hal menjatuhkan hukuman, Presiden tidak memiliki kewenangan tersebut karena itu adalah ranah lembaga yudikatif (pengadilan). 

“JC dalam konteks penjatuhan hukuman itu ranahnya peradilan, jadi Presiden sebagai kepala eksekutif tidak bisa mencampuri ranahnya peradilan, presiden tidak bisa mengintervensi,” ujar dia.

Selain itu, Fickar menilai aturan justice collaborator seharusnya cukup diatur dan diperbaharui melalui UU tentang Perlindungan saksi pelaku dan/korban. Sebab menurutnya, jika peraturan tersebut berada pada tingkat PP, akan terkesan menjadi politis. 

“Presiden tidak seharusnya mencampuri urusan kehakiman, jadi tidak tepat jika Presiden mengeluarkan PP yang tingkatannya di bawah UU untuk mengatur peradilan sebagai kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri,” ujar dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Achmad Zulfikar Fazli)