Ilustrasi. Foto: Freepik.
M Ilham Ramadhan Avisena • 3 April 2025 14:31
Jakarta: Kebijakan tarif resiprokal yang dikeluarkan Amerika Serikat (AS) untuk sejumlah negara, termasuk Indonesia, mendorong gejolak perekonomian. Dampak dari keputusan Negeri Paman Sam itu dinilai cukup signifikan.
Indonesia yang juga terkena kebijakan tarif berbalas dari AS sebesar 32 persen dinilai berpeluang menemui resesi ekonomi di penghujung tahun ini.
"Ini bisa picu resesi ekonomi Indonesia di triwulan IV-2025. Dengan tarif resiprokal 32 persen sektor otomotif dan elektronik Indonesia diujung tanduk," kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, Kamis, 3 April 2025.
Total ekspor produk otomotif Indonesia pada 2023 ke AS sebesar USD280,4 juta setara Rp4,64 triliun (kurs Rp16.600). Rata-rata 2019-2023 pertumbuhan ekspor produk otomotif ke AS 11 persen. Pertumbuhan itu berpotensi menjadi negatif begitu ada kenaikan tarif yang luar biasa.
Beberapa faktor yang memengaruhi hal itu, kata Bhima, ialah, pertama, konsumen AS menanggung tarif dengan harga pembelian kendaraan yang lebih mahal. Penjualan kendaraan bermotor turun di AS.
Kedua, probabilitas resesi ekonomi AS naik karena permintaan lesu. Korelasi ekonomi Indonesia dengan AS, setiap satu persen penurunan pertumbuhan ekonomi AS maka ekonomi Indonesia turun 0,08 persen.
Ketiga, produsen otomotif Indonesia tidak semudah itu shifting ke pasar domestik, karena spesifikasi kendaraan dengan yang diekspor berbeda. Imbasnya layoff dan penurunan kapasitas produksi semua industri otomotif di dalam negeri.
"Bukan hanya otomotif tapi juga komponen elektronik, karena kaitan antara produsen elektronik dan suku cadang kendaraan bermotor. Ekspor Indonesia tertinggi ke AS adalah komponen elektronik. Jadi elektronik ikut terdampak juga," terang Bhima.
Selain itu, sektor padat karya seperti pakaian jadi dan tekstil diperkirakan makin terpuruk. Sebagian besar jenama internasional yang ada di Indonesia, punya pasar besar di AS. Begitu kena tarif yang lebih tinggi, jenama tersebut akan menurunkan jumlah pemesanan ke pabrik Indonesia.
Sementara di dalam negeri, imbuh Bhima, Indonesia bakal dibanjiri produk Vietnam, Kamboja, dan Tiongkok karena mereka incar pasar alternatif. "Permendag 8/2024 belum juga direvisi, jadi ekspor sulit, impor akan menekan pemain tekstil pakaian jadi domestik. Ini harus diubah regulasinya secepatnya," tutur dia.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen bagi Indonesia Kini Tak Lagi Realistis |