Kepala BMKG Teuku Faisal Fathani. Foto: Antara 
                                                
                    
                        Jakarta: Teuku Faisal Fathani resmi mengemban jabatan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang baru. Ia menggantikan posisi Dwikorita Karnawati.
Kepala Bagian Humas BMKG Akhmad Taufan mengonfirmasi serah terima jabatan antara Dwikorita dan Faisal telah dilaksanakan pada Senin, 3 November 2025 di Jakarta dan dipimpin oleh Menteri Perhubungan Duddy Purwagandhi.
Pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan Faisal berlangsung di Kantor Kementerian Perhubungan pada hari yang sama, mengacu pada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diubah dengan PP Nomor 17 Tahun 2020.
Pergantian pucuk pimpinan BMKG tersebut dilakukan seiring dengan masa purna tugas Dwikorita Karnawati, yang telah memimpin lembaga itu sejak 3 November 2017.
Siapa sebenarnya Teuku Faisal Fathani?
Faisal dikenal sebagai akademisi dan pakar kebencanaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal aktif dalam penelitian sistem peringatan dini longsor dan mitigasi bencana hidrometeorologi. 
Faisal adalah Guru Besar Teknik Sipil UGM. Ia meraih gelar bidang Geoteknik dan Rekayasa Sabo dari Tokyo University of Agriculture and Technology, Jepang, pada 2005 dan meraih gelar profesor pada 2017. Ia menjalani post doctoral di Public Policy Center, The University of Iowa.
Faisal tercatat menjabat Ketua Umum Ikatan Alumni SMA Taruna Nusantara (Ikastara) periode 2020–2023. Faisal merupakan alumni SMA Taruna Nusantara angkatan pertama. 
Ia dikenal luas di kalangan ilmuwan kebumian karena kiprahnya dalam riset dan pengabdian kebencanaan di berbagai daerah.
Penemu alat pendeteksi longsor
Faisal dikenal dengan inovasi teknologi mitigasi bencana. Dia menciptakan alat pendeteksi longsor yang diberi nama GAMA-EWS. Sistem canggih ini terdiri dari berbagai sensor seperti penakar hujan, ekstensiometer, tiltmeter, dan pemantau fluktuasi muka air tanah.
Temuannya ini tidak hanya berhenti di laboratorium, tetapi telah diimplementasikan secara luas di 32 provinsi di Indonesia dan bahkan di beberapa negara lain.