- TANAMAN SORGUM PROGRAM JOKOWI MULAI DIPANEN DI LOMBOK TENGAH NTB
- WAPRES PASTIKAN INDONESIA SEGERA KIRIM BANTUAN KEMANUSIAAN GEMPA TURKI
- KBRI ANKARA AKAN EVAKUASI 104 WNI TERDAMPAK GEMPA TURKI DI LIMA LOKASI
- TPNPB-OPM MENGAKU BERTANGGUNG JAWAB ATAS PEMBAKARAN PESAWAT SUSI AIR DI NDUGA
- TPNPB-OPM MENGAKU SANDERA PILOT SUSI AIR KAPTEN PHILIPS ASAL SELANDIA BARU
- KEMENDAGRI DORONG PEMKOT SORONG GENJOT REALISASI APBD SEJAK AWAL TAHUN
- POLRI: PESAWAT SUSI AIR DI NDUGA DIBAKAR KKB PIMPINAN EGIANNUS KOGOYA
- POLRI PREDIKSI BERITA HOAKS DAN POLITIK IDENTITAS MENINGKAT JELANG PEMILU 2024
- PRESIDEN YAKIN PENURUNAN INDEKS PERSEPSI KORUPSI TIDAK PENGARUHI INVESTOR
- KAPOLRI: TIM GABUNGAN TERUS MENCARI PILOT DAN PENUMPANG SUSI AIR DI NDUGA PAPUA
Bedah Editorial MI: Matinya Rasa Malu
Nasional • 16 days agoEntah dengan kalimat seperti apa untuk menggambarkan betapa rusaknya perilaku pejabat negeri ini. Tanpa rasa malu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej yang telah berstatus tersangka di mata hukum hadir dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Selasa (21/11) lalu.
Ia bahkan hanya tersenyum lebar dan memilih bertahan duduk mewakili pemerintah saat diusir oleh Anggota Komisi III DPR Benny K Harman. Maklum, bosnya yang tak lain Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly membelanya dan mengatakan semua pihak harus menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah. Edward bahkan membisiki Yasonna bahwa KPK telah mengoreksi proses hukumnya, yang tak lama berselang langsung dibantah Wakil Ketua KPK Johanis Tanak.
Eddy, begitu Edward biasa dipanggil, telah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka sejak akhir September lalu. Berdasarkan alat bukti yang ada, Guru Besar Ilmu Hukum Pidana di Universitas Gadjah Mada itu dijerat dengan pasal dugaan penerimaan suap dan gratifikasi.
Jagonya ilmu hukum pidana itu menjadi tersangka usai dilaporkan Indonesia Police Watch ke KPK karena diduga menerima gratifikasi Rp7 miliar dari pengusaha sekaligus pemilik PT Citra Lampia Mandiri, Helmut Hermawan. Dalam laporannya, IPW menduga gratifikasi itu terkait dengan konsultasi dan bantuan pengesahan badan hukum perusahaan tersebut.
Jika menjunjung tinggi etika, sebagai pejabat negara yang bermoral, sepatutnya Eddy memilih mundur dari jabatannya sebagai Wamenkumham. Statusnya sebagai tersangka korupsi mempertaruhkan wibawa kementerian yang mengurus tegaknya hukum di negeri ini.
Sebagai guru besar dan ahli hukum pidana, Eddy pasti paham jabatannya itu erat kaitannya dengan etika dan moral. Tanpa etika dan moral, hukum tentunya tidak mungkin bisa ditegakkan.
Presiden Joko Widodo yang melantiknya pada Desember 2020 silam pun tidak bisa lepas dari tanggung jawab moral.
Presiden harus mencopot anak buahnya itu agar hukum dan pemerintahan tidak kehilangan wibawanya di mata masyarakat gara-gara korupsi. Presiden jangan sampai lupa, 6 November 2023 lalu Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis perilaku masyarakat yang semakin permisif terhadap korupsi.
Dengan skor pada skala 0-5, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) masyarakat pada 2023 di angka 3,92, lebih buruk ketimbang 2022 dengan skor 3,93. Berdasarkan kriteria sensus BPS, perilaku masyarakat yang antikorupsi terjadi jika skor indeks mendekati 5.
Rilis BPS jelang tutup tahun itu seakan melengkapi rapor yang diberikan Transparency International (TI) Indonesia pada Januari 2023. Dalam laporannya, TI merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada 2022 mengalami penurunan terburuk sepanjang sejarah reformasi. Parahnya lagi, lembaga itu menyebut selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, kualitas pemberantasan korupsi dan demokrasi cenderung terus menurun.
IPK Indonesia disebut terjun bebas dari skor 38 menjadi 34 atau berada di peringkat 110 dari 180 negara. Menurut catatan TI Indonesia, peringkat Indonesia kini berada di posisi sepertiga negara terkorup di dunia dan di Asia Tenggara, berada jauh di bawah Singapura, Malaysia, Timor Leste, Vietnam, dan Thailand.
Sebenarnya bukan baru kali ini skor IPK turu di masa pemerintahan Joko Widodo. Pada 2020, skor IPK merosot jadi 37 dari 40 di tahun 2019. Sempat naik kembali di 2021 namun IPK kembali terjun bebas di tahun 2022.
Perilaku Edward Omar Sharif Hiariej yang tidak kunjung mundur, atau dicopot Presiden dari jabatannya, tentu akan menambah buruk rupa penegakan korupsi di Republik ini.
Situasi seperti, bila tidak lekas ditangani, kian membuat rakyat frustrasi. Publik yang kian susah menemukan teladan kejujuran pada figur pejabat yang menjunjung tinggi etika dan moral kepublikan, bisa jadi akan memilih jalannya sendiri-sendiri.
Karena itu, ayo Pak Jokowi, kembalikan lagi hukum sebagai panglima. Tanpa bermaksud mengajari, Presiden bisa memulainya dari mencapot para pembantu yang terindikasi koruptif. Jangan biarkan pembantu-pembantu Anda mempermalukan negeri ini.