NEWSTICKER

Tag Result: pejabat negara

Bedah Editorial MI: Matinya Rasa Malu

Bedah Editorial MI: Matinya Rasa Malu

Nasional • 16 days ago

Entah dengan kalimat seperti apa untuk menggambarkan betapa rusaknya perilaku pejabat negeri ini. Tanpa rasa malu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej yang telah berstatus tersangka di mata hukum hadir dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Selasa (21/11) lalu.

Ia bahkan hanya tersenyum lebar dan memilih bertahan duduk mewakili pemerintah saat diusir oleh Anggota Komisi III DPR Benny K Harman. Maklum, bosnya yang tak lain Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly membelanya dan mengatakan semua pihak harus menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah. Edward bahkan membisiki Yasonna bahwa KPK telah mengoreksi proses hukumnya, yang tak lama berselang langsung dibantah Wakil Ketua KPK Johanis Tanak.

Eddy, begitu Edward biasa dipanggil, telah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka sejak akhir September lalu. Berdasarkan alat bukti yang ada, Guru Besar Ilmu Hukum Pidana di Universitas Gadjah Mada itu dijerat dengan pasal dugaan penerimaan suap dan gratifikasi.

Jagonya ilmu hukum pidana itu menjadi tersangka usai dilaporkan Indonesia Police Watch ke KPK karena diduga menerima gratifikasi Rp7 miliar dari pengusaha sekaligus pemilik PT Citra Lampia Mandiri, Helmut Hermawan. Dalam laporannya, IPW menduga gratifikasi itu terkait dengan konsultasi dan bantuan pengesahan badan hukum perusahaan tersebut.

Jika menjunjung tinggi etika, sebagai pejabat negara yang bermoral, sepatutnya Eddy memilih mundur dari jabatannya sebagai Wamenkumham. Statusnya sebagai tersangka korupsi mempertaruhkan wibawa kementerian yang mengurus tegaknya hukum di negeri ini.

Sebagai guru besar dan ahli hukum pidana, Eddy pasti paham jabatannya itu erat kaitannya dengan etika dan moral. Tanpa etika dan moral, hukum tentunya tidak mungkin bisa ditegakkan.
Presiden Joko Widodo yang melantiknya pada Desember 2020 silam pun tidak bisa lepas dari tanggung jawab moral. 

Presiden harus mencopot anak buahnya itu agar hukum dan pemerintahan tidak kehilangan wibawanya di mata masyarakat gara-gara korupsi. Presiden jangan sampai lupa, 6 November 2023 lalu Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis perilaku masyarakat yang semakin permisif terhadap korupsi. 

Dengan skor pada skala 0-5, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) masyarakat pada 2023 di angka 3,92, lebih buruk ketimbang 2022 dengan skor 3,93. Berdasarkan kriteria sensus BPS, perilaku masyarakat yang antikorupsi terjadi jika skor indeks mendekati 5.

Rilis BPS jelang tutup tahun itu seakan melengkapi rapor yang diberikan Transparency International (TI) Indonesia pada Januari 2023. Dalam laporannya, TI merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada 2022 mengalami penurunan terburuk sepanjang sejarah reformasi. Parahnya lagi, lembaga itu menyebut selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, kualitas pemberantasan korupsi dan demokrasi cenderung terus menurun.

IPK Indonesia disebut terjun bebas dari skor 38 menjadi 34 atau berada di peringkat 110 dari 180 negara. Menurut catatan TI Indonesia, peringkat Indonesia kini berada di posisi sepertiga negara terkorup di dunia dan di Asia Tenggara, berada jauh di bawah Singapura, Malaysia, Timor Leste, Vietnam, dan Thailand.

Sebenarnya bukan baru kali ini skor IPK turu di masa pemerintahan Joko Widodo. Pada 2020, skor IPK merosot jadi 37 dari 40 di tahun 2019. Sempat naik kembali di 2021 namun IPK kembali terjun bebas di tahun 2022.

Perilaku Edward Omar Sharif Hiariej yang tidak kunjung mundur, atau dicopot Presiden dari jabatannya, tentu akan menambah buruk rupa penegakan korupsi di Republik ini.

Situasi seperti, bila tidak lekas ditangani, kian membuat rakyat frustrasi. Publik yang kian susah menemukan teladan kejujuran pada figur pejabat yang menjunjung tinggi etika dan moral kepublikan, bisa jadi akan memilih jalannya sendiri-sendiri.

Karena itu, ayo Pak Jokowi, kembalikan lagi hukum sebagai panglima. Tanpa bermaksud mengajari, Presiden bisa memulainya dari mencapot para pembantu yang terindikasi koruptif. Jangan biarkan pembantu-pembantu Anda mempermalukan negeri ini.

Cerita Putra Putri Bakal Capres-Cawapres

Cerita Putra Putri Bakal Capres-Cawapres

Nasional • 1 month ago

Hingga saat ini, isu karpet merah Gibran Rakabuming Raka untuk menuju kompetisi Pilpres 2024 terus bergulir. Hal ini menjadi sorotan masyarakat tentang enaknya menjadi anak pejabat.

Apakah semua anak pejabat menikmati privilege sang orang tua atau bahkan hal tersebut justru menjadi buah simalakama? Berikut wawancara khusus Yohana Margaretha dengan anak-anak capres-cawapres tentang suka duka jadi anak pejabat.

Letjen Agus Subiyanto Dilantik jadi KSAD

Letjen Agus Subiyanto Dilantik jadi KSAD

Nasional • 1 month ago

Mendagri Lantik Pj Gubernur Kaltim dan Sumsel

Mendagri Lantik Pj Gubernur Kaltim dan Sumsel

Nasional • 2 months ago

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian melantik Akmal Malik sebagai Penjabat Gubernur Kalimantan Timur. Selain itu, ia juga melantik Agus Fathoni sebagai Penjabat Gubernur Sumatera Selatan.

Diawali dengan pengambilan sumpah jabatan, Mendagri resmi melantik Akmal Malik sebagai Penjabat Gubernur Kalimantan Timur serta Agus Fathoni sebagai Penjabat Gubernur Sumatera Selatan.

Selain dapat mengisi kekosongan sampai dengan pilkada serentak nanti, Tito berharap kedua penjabat gubernur ini dapat melaksanakan tugas tugas yang menjadi prioritas baik nasional maupun daerah.

"Tugas utama yang paling penting bagi saya adalah mereka bisa membuat pemerintahan tetap berjalan running, jangan sampai terjadi kekosongan," kata Tito kepada wartawan, Senin, 2 Oktober 2023. 

Diketahui, Dirjen Bina Keuangan Kemendagri Agus Fatoni resmi dilantik menjadi Pj Gubernur Sumatera Selatan menggantikan Herman Deru yang purna tugas pada hari ini, Senin, 2 Oktober 2023. 

Sementara Akmal Malik yang sebelumnya menjabat Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri resmi dilantik menjadi Pj Gubernur Kalimantan Timur menggantikan Isran Noor.

Editorial Malam: Ujian Netralitas Penjabat Kepala Daerah

Editorial Malam: Ujian Netralitas Penjabat Kepala Daerah

Nasional • 3 months ago

Sembilan penjabat gubenur resmi mulai bertugas menggantikan gubernur sebelumnya yang habis masa jabatannya per 5 September. Mereka telah dilantik Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, kemarin. 

Masih tersisa satu, yakni penjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) yang baru akan dilantik pada 19 September mendatang. Ini menyesuaikan masa jabatan Zulkieflimansyah yang baru berakhir pada tanggal tersebut.

Dari kesepuluh penjabat gubernur itu, tujuh di antaranya berasal dari pemerintahan pusat, sisanya merupakan sekretaris daerah provinsi. Kerja penjabat gubenur tidak mudah. Mereka harus memastikan roda pemerintahan dan pembangunan di daerah yang mereka pimpin berjalan lancar.

Tidak hanya itu, di pundak para penjabat ada tambahan beban mengawal penyelenggaraan Pemilu serentak 2024. Hajatan demokrasi tersebut meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota legilatif dan DPD, hingga pemilihan kepala daerah (pilkada)

Tantangan penyelenggaraan pemilu serentak dapat dibilang paling berat. 
Kerap kali godaan terbesar muncul dari dorongan atau tekanan untuk cawe-cawe mengarahkan warga ataupun aparatur daerah. 

Disebut godaan ketika arahan tersebut adalah untuk mendukung salah satu peserta pemilu. Seketika itu pula penjabat yang bersangkutan melanggar netralitas selaku aparatur sipil negara (ASN). 

ASN bisa menjadi tidak netral di saat kesetiaannya kepada penguasa mencuat melebihi kesetiaannya kepada negara. Padahal, mereka terikat sumpah jabatan yang pada intinya wajib memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya.

Asas netralitas ASN tertuang dalam Pasal 2 Undang-Undang (UU) No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan yang dimaksud dengan asas netralitas adalah  setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.

Dalam penyelengaraan pesta demokrasi, yang paling rawan terjadi adalah intervensi hasil pilpres dan pilkada. Dorongan untuk cawe-cawe bisa karena merasa berutang budi kepada yang memengaruhinya. Di sisi lain, tekanan dapat muncul oleh rasa takut atas nasib kariernya ke depan bila tidak menuruti kehendak penguasa atau calon penguasa.

Potensi pelanggaran netralitas menjadi semakin riil ketika tanpa ada faktor baru yang menimbulkan kemendesakan atau kegentingan, tiba-tiba bergulir rencana memajukan pelaksanakan pilkada. Dari semula sudah disepakati dan ditetapkan berlangsung pada 27 November 2024, dipercepat menjadi September atau dua bulan sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.

Harus diakui yang paling rawan untuk diintervensi tidak hanya hasil pilpres, melainkan juga pilkada. Percepatan pelaksanaan pilkada tidak pelak memancing kecurigaan ada pihak-pihak yang ingin mendikte hasil pilkada.

Selain sembilan penjabat gubernur, ada 75 penjabat bupati/wali kota yang mulai bertugas per 5 September. Sebelumnya sudah ada 173 penjabat kepala daerah yang dilantik.

Nantinya, pada pelaksanaan Pilkada 2024, total ada 274 ASN penjabat kepala daerah yang mengisi kekosongan kepala pemerintahan di 274 kota, kabupaten, dan provinsi. Jumlah yang tidak main-main dan potensial diperalat untuk pemenangan pemilu. 

Kita perlu mengingatkan kembali agar para penjabat kepala daerah memegang teguh sumpah jabatan. Mereka wajib berbakti untuk masyarakat, nusa, dan bangsa, bukan untuk penguasa atau golongan tertentu.

Netralitas penjabat kepala daerah dan ASN secara keseluruhan akan menentukan kualitas hasil pemilu, hasil cawe-cawe ataukah menjunjung asas pemilu yang jujur dan adil.

Diduga Rugikan Negara, PTPN VII Dilaporkan ke Polda Lampung

Diduga Rugikan Negara, PTPN VII Dilaporkan ke Polda Lampung

Nasional • 4 months ago

Masyarakat Pesawaran, Kabupaten Pesawaran, melaporkan PTPN VII Lampung ke Polda Lampung atas dugaan tindak pidana yang telah merugikan keuangan negara. Laporan tersebut perihal dugaan penyerobotan lahan milik masyarakat di Desa Tanjung Kemala, Tamansari, Kabupaten Pesawaran, Lampung.

"Tanah yang dikuasai oleh mereka saat ini adalah penyerobotan dari lahan-lahan masyarakat dulu," kata Koordinator Pelapor, Sapron Tanjung.

Lahan dengan luas 329 hektare di Desa Tanjung Kemala, Tamansari, Kabupaten Pesawaran Lampung yang telah dikuasai oleh PTPN VII Lampung tersebut diketahui tidak memiliki bukti atas hak kepemilikan yang sah. Masyarakat Pesawaran berharap laporan dugaan adanya mafia tanah di PTPN VII Lampung segera ditindaklanjuti.