Podium Media Indonesia: Parade Kekonyolan

Dewan Redaksi Media Group, Jaka Budi Santosa. Foto: Media Indonesia (MI)/Ebet.

Podium Media Indonesia: Parade Kekonyolan

Media Indonesia • 4 December 2025 05:28

Tak cuma menghadirkan duka teramat dalam, bencana dahsyat di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat juga menjadi parade kekonyolan. Seperti biasa, yang menjadi korban ialah rakyat. Seperti yang sudah-sudah, yang unjuk kekonyolan siapa lagi kalau bukan para pejabat.

Dari sisi mana pun, bencana hidrometeorologi di tiga provinsi itu jauh lebih dari cukup untuk membuat kita menangis. Soal cakupan wilayah yang tertimpa oleh musibah, begitu luas, sangat luas. Ihwal jumlah korban, banyak, sangat banyak. Hingga kemarin pagi saja, data di website resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan 735 meninggal dunia. Korban luka 2.600 dan yang hilang 650 orang. Belum lagi 500 ribu lebih mesti mengungsi.
 


Sungguh luar biasa daya destruktif bencana kali ini. Karena itu, wajar, sangat wajar bangsa ini berduka. Lumrah, sangat lumrah, seluruh rakyat di Indonesia mengalirkan empati kepada shohibul musibah. Normal, amat normal pula, jika publik kesal sekesal-kesalnya, marah semarah-marahnya, geram bukan kepalang ketika ada pengelola negara yang justru memperlihatkan kekonyolan.

Kekonyolan pertama datang dari Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto. Dalam sebuah pernyataan pada Jumat, 28 November 2025, dia menyebut dampak banjir Sumatra kelihatan mencekam karena berseliweran di media sosial. ''Tetapi begitu kami tiba langsung di lokasi, banyak daerah yang sudah tidak hujan. Yang paling serius memang Tapanuli Tengah (Sumut), tetapi wilayah lain relatif membaik,'' begitu ucapnya.

Rakyat terhenyak. Tidak semencekam di medsos? Bukankah yang terunggah di dunia maya hanya sebagian fakta di lapangan? Buktinya, jumlah korban terus melonjak. Realitasnya, kerusakan yang terjadi sedemikian parah. Masyarakat kesal, marah, geram. Sumpah serapah tumpah ruah untuk Pak Suharyanto. Dia memang sudah meminta maaf, tapi kekonyolan itu telanjur dicatat rakyat.

Kekonyolan juga datang dari Kementerian Kehutanan. Muasalnya ialah Direktur Jenderal Penegakan Hukum Dwi Januanto Nugroho yang menepis spekulasi bahwa pembalakan liar sebagai biang bencana. Spekulasi itu mencuat setelah sejumlah rekaman video memperlihatkan banyaknya gelondong terbawa oleh banjir bandang.


Bencana banjir melanda Aceh. Foto: Istimewa

Pak Dwi bilang, kayu-kayu itu bukan berasal dari illegal logging. Dia menyebut sebagian merupakan kayu lapuk tua atau yang tumbang alami. Kayu-kayu itu ada pula yang berasal dari penebangan resmi di area izin pengusahaan hutan dengan prosedur legal.

Publik tak percaya. Kekesalan, kemarahan, dan kegeraman mereka layangkan. Mereka yakin, pembalakan secara ugal-ugalanlah penyebab utama bencana. Cuaca memang ekstrem, tapi kalau tidak ada pembiaran perusakan hutan, dampaknya tak akan semengerikan sekarang. Begitu kira-kira.

Kemenhut lalu mengklarifikasi. Dwi Januanto menegaskan pihaknya tak pernah menafikan kemungkinan adanya praktik ilegal di balik kayu-kayu yang terbawa air bah. Apa pun itu, publik kadung menganggap kekonyolan.

Yang satu ini juga konyol. Dia ialah Bupati Aceh Tenggara Salim Fakhry. Ketika menemani Presiden Prabowo Subianto meninjau pengungsian di Kutacane, Senin, 1 Desember 2025 dia mengaku bersyukur atas kehadiran Presiden.

Namun, puja-puji untuk Prabowo kebablasan. "Tidak ada presiden seperti beliau, menyapa rakyat, menyapa masyarakat. Insya Allah, tadi ada video dibuat Presiden, kalau bisa, Pak Prabowo jadi presiden seumur hidup.'' Ucapan pak bupati itu dibalas Prabowo dengan goyangan tangan dan gelengan kepala. Bicara kekuasaan di tengah duka sungguh keterlaluan. Konyol tingkat dewa.

Masih ada lagi. Yang ini malah lebih heboh. Semua bermula dari kedatangan Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan ke lokasi bencana. Itu tindakan yang baik. Pejabat memang semestinya hadir ketika rakyat sedang susah. Tentu harus tulus. Ikhlas. Tanpa pamrih.

Tuluskah Zulhas? Banyak yang tak percaya. Alasannya? Karena dia datang dan menyerahkan bantuan dengan aroma pencitraan. Sorotan kamera yang stabil, angle sempurna, dan audio terdengar jelas dan utuh menunjukkan aksinya itu tidak spontan. Ada produksi konten yang direncanakan matang lalu diunggah di akun medsosnya.
 
Adegan Bang Zul kian menguatkan anggapan itu. Memanggul sendiri karung beras sementara dia dikawal sejumlah orang berotot kawat balung wesi terasa sangat janggal. Pun tatkala dia ikut membersihkan lantai rumah warga. Mungkin dia ingin seperti Khalifah Umar bin Khattab yang memikul sekarung gandum untuk diberikan kepada rakyatnya yang kelaparan. Bedanya, Umar melakukannya secara diam-diam pada waktu malam. Gelap. Senyap. Kalau Zulhas terang-terangan, di depan kamera dan mikrofon aktif. Dengan framing yang terlalu rapi, sulit untuk disebut tulus.

Alih-alih menuai simpati, Ketua Umum PAN itu justru kebanjiran caci maki. Masa lalunya saat menjadi menteri kehutanan yang royal memberikan izin pembalakan hutan diungkit lagi. Memperdagangkan empati demi citra diri ialah tindakan yang amat sangat tak terpuji. Zulhas disebut telah melakukan hal sekonyol itu.

Entah apa yang ada di benak para pejabat itu. Ada ungkapan Prancis; Qu'ils mangent de la brioche. Biarkan mereka makan brioche (sejenis roti mewah). Bahasa Inggrisnya; Let them eat cake (biarkan mereka makan kue). Itu menggambarkan ketidakpedulian dan ketidakpekaan orang kaya atau berkuasa terhadap penderitaan rakyat. Kiranya mereka termasuk frasa itu.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Fachri Audhia Hafiez)