Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. (MI/Ebet)
'Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah jiwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang'.
MELALUI potongan bait puisinya berjudul Gugur itu, WS Rendra telah menegaskan betapa sentralnya peran bumi bagi manusia. Namun, kerakusan manusia merusak segalanya. Seperti kata Mahatma Gandhi, "Bumi ini mencukupi semua kebutuhan manusia, tapi tidak mampu mencukupi kerakusan manusia."
Ketika eksploitasi dari manusia yang superrakus tidak terbendung lagi, bumi akan 'kehilangan daya kasihnya'. Bumi, yang 'murka' atas ulah manusia, melahirkan bencana. Tak lagi menyusui mata air, malah menguras air mata. Bumi pun dipaksa kehilangan 'jiwa dari jiwa', layaknya lepasnya dekapan ibu dari tubuh kita yang membuat kita kehilangan rasa hangat sebuah pelukan.
Tepat belaka nasihat dan pesan penting pengarang Amerika Eric Weiner bahwa ada batas yang tidak bisa dibeli kembali, yakni ketika alam runtuh oleh kerakusan, seluruh konstruksi ekonomi ikut roboh karena fondasinya hilang. Dengan gamblang Eric menulis, 'Ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir dikosongkan, ketika ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang'.
Bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat dalam beberapa hari ini memang disulut curah hujan yang amat sangat tinggi. Namun, tak bisa dimungkiri bahwa curah hujan tidak serta-merta berujung pada banjir bandang dan longsor bila hutan, alam, bumi masih 'berjiwa'. Pelajaran dasar hampir semua anak sekolah dasar di Indonesia sejak dulu kala mengatakan hutan yang digunduli berakibat banjir dan longsor.
Namun, lagi-lagi, kerakusan ugal-ugalan membuat yang mestinya bisa dicegah menjadi tak terbendung lagi. Banjir dan longsor Sumatra yang membawa gelondong dan bongkahan batu-batu membuat jutaan manusia terkena oleh dampaknya. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga kemarin pagi menunjukkan lebih dari 630 jiwa meninggal dunia, 472 orang hilang, dan 2.600 orang terluka. Jumlah korban terdampak 3,2 juta jiwa dan mereka yang mengungsi mencapai sekitar 1 juta jiwa.
Angka-angka itu sangat mengerikan. Sama mengerikannya membaca data-data rusaknya alam di tiga daerah yang terkena oleh banjir itu. Data BPS Aceh dan lembaga lingkungan mencatat wilayah Aceh kehilangan lebih dari 700 ribu hektare hutan pada 1990-2020. Di Sumatra Utara, wilayah tutupan hutan hanya tinggal 29%, atau 2,1 juta hektare, pada 2020. Di Sumatra Barat, proporsi hutan memang masih 54%, atau 2,3 juta hektare, pada 2020, tetapi dengan laju deforestasi tertinggi.
Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatra Barat, provinsi itu kehilangan 320 ribu hektare hutan primer dan 740 ribu hektare tutupan pohon pada 2001 hingga 2024. Hanya dalam waktu satu tahun pada 2024, deforestasi di wilayah itu mencapai 32 ribu hektare.
Walhi Sumbar juga melakukan telaah spasial berbasis citra satelit Maxar pada periode Juni 2021-Juli 2025 pada kawasan hulu daerah aliran Sungai (DAS) Aia Dingin yang menjadi daerah tangkapan air utama untuk Kota Padang. Hasilnya, terdapat titik-titik penebangan yang berada di dalam Suaka Margasatwa Bukit Barisan serta hutan lindung. Sebagian titik lain tidak berada di hutan lindung, tetapi berbatasan langsung dengan kawasan konservasi, yang menjadi pintu masuk aktivitas logging.
Menurut Walhi, rangkaian citra yang diperoleh menunjukkan perubahan bentang lahan yang signifikan jauh sebelum galodo alias banjir bandang terjadi. Terdapat tumpukan kayu yang ditata menyerupai stockpile, bukaan lahan baru yang mencapai ratusan hektare, pola penebangan yang berulang dan sistematis, hingga jalan angkut hasil pembukaan hutan.
Citra Maxar merekam jejak yang konsisten selama empat tahun berturut-turut. Pada perekaman terbaru pada 27 Juli 2025, ditemukan puluhan titik penebangan aktif dan tumpukan kayu siap angkut di sepanjang punggungan hulu DAS Aia Dingin.
Begitu juga dengan penyebab banjir serta longsor yang melanda sejumlah daerah di Sumatra Utara. Hasil kajian Walhi Sumatra Utara menunjukkan banjir bandang dan tanah longsor Sibolga-Tapanuli bukan sekadar fenomena alam, melainkan juga telah berubah menjadi bencana ekologis.
Berdasarkan kajian risiko bencana nasional 2022-2026, wilayah yang saat ini terdampak oleh bencana masuk kategori risiko tinggi banjir bandang dan tanah longsor. Hanya Kabupaten Samosir yang masuk kategori risiko rendah, sedangkan sebagian besar wilayah memiliki risiko tinggi.
Nyata adanya telah terjadi simbiosis parasitisme antara bumi yang terus memberi dan manusia rakus yang tak henti mengeksploitasi. Peringatan demi peringatan bertubi-tubi terus ditumpuk menjadi onggokan di laci-laci dan lemari-lemari pemegang kendali. Kini, ketika bencana tiba dan dokumen-dokumen itu dibeberkan di atas meja, banjir penyangkalan terjadi di mana-mana, hingga alam murka.
Ada kalimat bijak (bahkan ada yang menyebutnya sebagai hadis meski hadis lemah): wakafa bil mauti wa'idza (dan cukuplah kematian itu sebagai pemberi nasihat). Namun, rentetan kematian demi kematian rupanya tak kunjung menjadi nasihat.
Saya tutup tulisan ini dengan penggalan puisi Rendra berjudul Bumi Hangus, siapa tahu kematian benar-benar menjadi nasihat.
'Di bumi yang hangus, hati selalu bertanya
apalagi yang kita punya? Berapakah harga cinta?
Di bumi yang hangus hati selalu bertanya
Kita harus pergi kemana, di mana rumah kita?
Di bumi yang hangus hati selalu bertanya
bimbang kalbu oleh cedera
Di bumi yang hangus hati selalu bertanya
hari ini maut giliran siapa?'.