Tingkat Proteksionisme Tinggi Jadi Hambatan Buat Perdagangan RI

Ilustrasi. Foto: Dok MI

Tingkat Proteksionisme Tinggi Jadi Hambatan Buat Perdagangan RI

Insi Nantika Jelita • 7 May 2025 10:58

Jakarta: Indonesia memiliki proteksionisme tinggi dengan menempati peringkat ke-122 secara global dan paling rendah dalam keterbukaan perdagangan di kawasan Asia Tenggara menurut International Trade Barrier Index (TBI) 2025. TBI merupakan indeks global yang membandingkan tingkat keterbukaan dan hambatan perdagangan di seluruh dunia.

Di kawasan ASEAN, peringkat Indonesia lebih rendah dibanding Vietnam dengan urutan 117 dan Thailand di peringkat ke 118. Di luar kawasan itu, Tiongkok menempati urutan 114.

"Seperti yang bisa diduga, Singapura berada di posisi teratas. Amerika Serikat berada di sekitar peringkat 61. Sementara, Indonesia menempati posisi rendah," ujar policy analyst Tholos Foundation Philip Thompson saat acara Innovation Summit Southeast Asia 2025 di Jakarta, dikutip Rabu, 7 Mei 2025.

Philip menyampaikan wilayah dengan pendapatan tinggi seperti Eropa Barat umumnya menerapkan tarif impor yang rendah untuk mendorong perdagangan bebas. Sebaliknya, negara-negara di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, cenderung menetapkan kebijakan perdagangan yang lebih ketat. 

Kasus ini terlihat dari pelarangan sementara iPhone 16 di Indonesia karena Apple Inc tidak memenuhi syarat tingkat komponen dalam negeri (TKDN). "Contoh yang menonjol dari (proteksionisme) hal ini adalah dampak pemasaran iPhone di Indonesia," ucapnya.

Philip menyebut fenomena seperti pembatasan terhadap iPhone atau cip semikonduktor yang dibuat khusus untuk pasar tertentu menunjukkan hambatan perdagangan kini meluas hingga ke sektor teknologi tinggi. Dia juga menilai banyak hambatan yang dihadapi Indonesia sebenarnya berasal dari isi perjanjian dagangnya sendiri.

"Dengan memperluas jumlah garis tarif bebas bea, Indonesia bisa meningkatkan skor keterbukaan perdagangannya secara signifikan," katanya.
 

Baca juga: 

Ogah Sebut Ekonomi Melambat, Menkeu: Masih Resilien di Tengah Ketidakpastian Global



(Ilustrasi. Foto: Dok MI)

Hambatan nontarif yang tinggi

Dalam kesempatan sama, senior konsultan dari Roland Berger Ashok Kaul menuturkan, Indonesia juga memiliki sejumlah hambatan nontarif yang tinggi. Seperti, penggunaan safeguards atau tindakan perlindungan impor yang seharusnya bersifat sementara namun justru berlangsung lama.

"Hambatan ini banyak diterapkan di sektor tekstil, pakaian, dan keramik," tuturnya.

Di era perdagangan digital, Indonesia juga disebut memiliki pembatasan yang di atas rata-rata. Meski tidak sebesar Tiongkok atau Uni Eropa, regulasi digital Indonesia dianggap menambah beban dalam iklim perdagangan.

Ashok menyarankan agar pemerintah Indonesia lebih banyak menetapkan lini tarif bebas bea untuk produk-produk yang tidak diproduksi di dalam negeri. “Jika tidak diproduksi di sini, kenapa masih dikenakan tarif? Ini langkah mudah yang bisa langsung menurunkan tarif rata-rata nasional,” katanya.

Implementasi insentif tidak tepat

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi menambahkan yang terpenting untuk menurunkan hambatan perdagangan ialah desain kebijakan yang tepat. Menurutnya, banyak insentif yang telah diberikan pemerintah, tetapi implementasinya seringkali naik turun. 

Oleh karena itu, katanya, penting untuk tidak menumpuk semua insentif di satu tempat, melainkan melihatnya secara lebih menyeluruh. "Masalahnya bukan pada kurangnya insentif, tetapi pada desain kebijakan dan pelaksanaannya yang tidak tepat," ucapnya.
 
Fithra juga menyoroti pentingnya mempertimbangkan hubungan dengan mitra dagang. Jika kebijakan yang ditetapkan tidak pro industri, mitra dagang bisa merespons dengan menaikkan tarif. Dia meyakini dengan multilateralisme dan konsensus yang lebih luas akan sangat dibutuhkan untuk menguatkan hubungan perdagangan.

"Meskipun kita berada di era di mana sistem berbasis aturan sudah dihancurkan Donald Trump, tapi di masa depan kita masih perlu menyerukan multilateralisme," tutupnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Eko Nordiansyah)