Foto Buruh Pertambangan, tahun 1940-an. (rarehistoricalphotos.com)
Riza Aslam Khaeron • 29 April 2025 15:59
Jakarta: Hari Buruh Internasional atau May Day yang diperingati setiap 1 Mei merupakan simbol dari perjuangan panjang kaum buruh untuk mendapatkan hak-haknya. Tanggal ini bukan sekadar hari libur, melainkan penanda sejarah berdarah perjuangan kelas pekerja dunia sejak akhir abad ke-19.
Peristiwa Haymarket Affair di Amerika Serikat menjadi titik tolak penetapan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional. Namun, bagaimana hari ini merubah hak buruh? Apakah benar hak buruh menjadi lebih baik dari sebelumnya? Berikut penjelasannya.
Kondisi Buruh Dunia Sebelum Hari Buruh
Pada abad ke-19, Revolusi Industri mengubah wajah dunia kerja. Melansir tulisan Eric Chase dari Industrial Workers of The World (IWW) pada tahun 1993, para buruh dipaksa bekerja 10 hingga 16 jam sehari dalam kondisi buruk dan upah rendah.
Buruh tidak memiliki perlindungan hukum yang memadai, bahkan sering kali dianggap sebagai alat produksi belaka oleh pemilik modal. Anak-anak dan perempuan turut dipekerjakan dengan upah jauh di bawah standar kelayakan.
Tempat kerja tidak memenuhi unsur keselamatan, banyak kecelakaan kerja terjadi, dan tidak ada sistem kompensasi bagi korban. Serikat pekerja sering dilarang dan dihadapi dengan kekerasan oleh pemerintah maupun pemilik pabrik.
Dalam konteks ini, tuntutan utama gerakan buruh dunia adalah pemberlakuan sistem kerja yang manusiawi: delapan jam kerja per hari, hak untuk berorganisasi, upah yang adil, serta jaminan keamanan kerja.
Tuntutan pemberlakuan delapan jam kerja mulai digaungkan sejak pertengahan abad ke-19. Gerakan ini perlahan berkembang menjadi gerakan internasional yang terorganisasi. Aksi mogok massal yang dilakukan pada tanggal 1 Mei 1886 di berbagai kota di Amerika Serikat menandai momen penting dalam sejarah perjuangan buruh dunia. K
Kota Chicago menjadi pusat aksi dan ketegangan memuncak pada peristiwa Haymarket Affair. Tuntutan buruh waktu itu dianggap sebagai ancaman serius oleh pemerintah dan pengusaha, yang justru meresponsnya dengan kekerasan.
Haymarket Affair dan Lahirnya Hari Buruh
Gambar: ilustrasi peristiwa Haymarket Affair 1886. (illinoislaborhistory.org)
Peristiwa Haymarket Affair yang terjadi pada 4 Mei 1886 merupakan peristiwa berdarah dalam sejarah perjuangan buruh. Aksi unjuk rasa damai berubah menjadi kekacauan ketika sebuah bom meledak di tengah kerumunan. Pemerintah menanggapi insiden tersebut dengan represif.
Beberapa tokoh gerakan buruh ditangkap, disidang, dan dijatuhi hukuman mati, meski tidak terbukti secara langsung terlibat. Haymarket Affair kemudian dikenang sebagai simbol pengorbanan kaum buruh dan menjadi pemicu lahirnya Hari Buruh Internasional.
Tiga tahun kemudian, pada tahun 1889, Kongres Buruh Internasional di Paris menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional. Penetapan ini bukan hanya untuk mengenang tragedi Haymarket, melainkan juga sebagai sarana perjuangan kolektif untuk hak-hak buruh di seluruh dunia.
Sejak saat itu, setiap 1 Mei diperingati oleh kaum buruh dengan aksi, demonstrasi, serta refleksi atas perjuangan dan pencapaian yang telah diraih maupun tantangan yang masih dihadapi.
Perjuangan dan Pencapaian Pekerja Pasca Lahirnya Hari Buruh
Foto: Organisasi Perburuhan Internasional didirikan berdasarkan Perjanjian Versailles pada tahun 1919. Arsip PA
Setelah Hari Buruh diresmikan secara internasional, gerakan buruh semakin menunjukkan kekuatannya di banyak negara. Serikat pekerja menjadi lebih solid dan mampu menekan pemerintah serta pengusaha untuk mengakui hak-hak dasar pekerja.
Salah satu pencapaian penting adalah berdirinya Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada tahun 1919, yang menjadi lembaga global dalam menetapkan standar kerja yang adil. Konvensi pertama ILO langsung menetapkan jam kerja maksimum delapan jam per hari atau 48 jam per minggu.
Di banyak negara, hukum perburuhan mulai mengatur hak atas cuti, jaminan sosial, keselamatan kerja, dan perlindungan dari pemecatan sepihak. Pekerja juga mulai mendapat perlindungan dalam bentuk upah minimum, tunjangan hari tua, serta perlindungan terhadap kerja paksa dan kerja anak.
Sebagai contoh,
Konvensi ILO No. 29 tahun 1930 melarang kerja paksa dan Konvensi ILO No. 138 dan No. 182 mengatur usia minimum bekerja sehingga praktik buruh anak menjadi ilegal.
Selain itu, gerakan buruh juga turut berperan dalam mendorong demokratisasi politik, memperjuangkan hak pilih bagi semua warga, termasuk buruh, serta menjadi bagian penting dalam perjuangan hak-hak sipil di banyak negara.
Deklarasi Universal HAM 1948 PBB Pasal 23 kemudian menegaskan hak pekerja dalam bergabung dan mendirikan serikat kerja merupakan sebuah hak asasi.
Perjuangan buruh juga meluas ke isu-isu kesetaraan. Di paruh kedua abad ke-20, buruh perempuan memperjuangkan kesetaraan upah dan perlindungan khusus seperti cuti melahirkan. Gerakan ini turut mendorong terbentuknya regulasi anti-diskriminasi di tempat kerja.
Dalam konteks ini, gerakan buruh telah bertransformasi dari sekadar perjuangan ekonomi menjadi kekuatan sosial-politik yang membentuk wajah keadilan sosial dunia modern.
Tantangan Buruh di Era Modern
Foto: Buruh kelapa sawit di Ghana. (via Triple Pundit)
Memasuki abad ke-21, buruh menghadapi tantangan baru yang lebih kompleks. Perkembangan teknologi dan globalisasi menciptakan sistem ekonomi baru yang mempengaruhi hubungan kerja.
Fenomena
gig economy menjadikan banyak pekerja kehilangan status kerja tetap dan beralih menjadi pekerja lepas tanpa perlindungan hukum, seperti jaminan kesehatan, asuransi ketenagakerjaan, dan kepastian pendapatan.
Sebagai respons, Tuntutan penerapan “
universal labor guarantee” mengemuka, yakni jaminan bahwa setiap pekerja, termasuk di sektor gig, berhak atas standar perlindungan dasar yang sama
Digitalisasi juga menyebabkan banyak pekerjaan lama tergantikan oleh mesin atau algoritma. Automasi industri dan kecerdasan buatan mulai menggantikan peran manusia, khususnya di sektor manufaktur dan pelayanan. Hal ini menciptakan kekhawatiran akan meningkatnya angka pengangguran dan menyempitnya lapangan kerja berkualitas.
Berdasarkan Kelly Ross dari Federasi Organisasi Buruh dan Wakil Industri Amerika Serikat tahun 2019 (AFL-CIO) memperingatkan bahwa tanpa intervensi, gelombang digitalisasi dapat memperlebar ketimpangan, meningkatkan ketidakpastian kerja, dan memperkuat eksklusi sosial
Dalam situasi ini, gerakan buruh menuntut kebijakan pelatihan ulang, pendidikan vokasional, serta perlindungan sosial bagi pekerja yang terdampak.
Di sisi lain, diskriminasi berbasis gender, usia, dan kewarganegaraan masih menjadi kenyataan di dunia kerja. Buruh perempuan, buruh migran, dan penyandang disabilitas sering kali mengalami perlakuan tidak setara dalam hal upah, akses ke posisi manajerial, serta perlindungan dari kekerasan dan pelecehan.
Contohnya berdasarkan
laporan ILO tahun 2019, secara global pekerja perempuan masih dibayar sekitar 20% lebih rendah daripada pria untuk pekerjaan yang sebanding Ketimpangan upah antarnegara juga semakin melebar. Pekerja di negara berkembang masih banyak yang bekerja dalam kondisi berbahaya, dengan upah sangat rendah dan tanpa perlindungan yang memadai.
Contoh tragis rendahnya jaminan pekerja negara dunia ketiga adalah runtuhnya gedung Rana Plaza di Bangladesh tahun 2013 yang menewaskan lebih dari 1.100 buruh garmen.
Sedangkan ketidaksetaraan antara negara dunia maju dan berkembang semakin melebar, berdasarkan
World Economic Forum (WWF) tahun 2024, 69% kekayaan global dipegang oleh negara maju.
Gerakan buruh modern tidak hanya memperjuangkan hak di dalam negeri, tetapi juga memperluas jangkauannya ke ranah internasional. Serikat pekerja lintas negara bekerja sama untuk memastikan standar kerja global yang adil dan memerangi praktik eksploitatif dalam rantai pasok perusahaan multinasional.
Kesadaran akan pentingnya kerja layak sebagai hak asasi manusia kini menjadi fokus utama perjuangan buruh global. Sejarah panjang perjuangan buruh dunia membuktikan bahwa keadilan di tempat kerja tidak datang begitu saja, melainkan hasil dari pengorbanan dan perjuangan kolektif selama lebih dari satu abad.
Dari revolusi industri, Haymarket Affair, pendirian ILO, hingga perjuangan melawan ketidakpastian kerja di era digital, semua menunjukkan bahwa hak buruh terus berkembang sesuai tantangan zaman.
Peringatan Hari Buruh pada 1 Mei 2025 bukan hanya bentuk penghormatan terhadap sejarah, tetapi juga seruan untuk terus memperjuangkan hak dan martabat pekerja di seluruh dunia.