Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Metrotvnews.com/ Roni Kurniawan
Bandung: Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memangkas anggaran promosi BUMD Bank BJB mencapai Rp300 miliar. Hal itu sebagai upaya efisiensi anggaran pascakasus korupsi biaya promosi Bank BJB yang ditemukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dedi menuturkan banyak catatan kritis bagi Bank BJB yang harus dibenahi saat ini diera kepemimpinannya di Jabar. Terlebih Pemprov Jabar merupakan pemegang saham tersebar Bank BJB yaitu 36 persen.
"Kita tadi memberikan catatan-catatan kritis. Barangkali ini RUPS yang paling kritis dan catatan kritis itu justru dilakukan oleh pemegang saham mayoritas," kata Dedi usai Rapat Umum Pemegang Saham Bank bjb Tahun 2024 di Jalan Naripan, Kota Bandung, Rabu, 16 April 2025.
Dedi menuturkan salah satu langkah yang dilakukan yaitu pemangkasan anggaran promosi Bank bjb yang semula Rp400 miliar menjadi Rp100 miliar dalam satu tahun.
Anggaran promosi tersebut pun yang sebelumnya menjadi temuan KPK yang telah menetapkan lima tersangka yaitu Yuddy Renaldi selaku mantan Direktur Utama Bank bjb, Widi Hartoto mantan Pimpinan Divisi Corporate Secretary Bank bjb, Kin Asikin pengendali Agensi Antedja Muliatama dan Cakrawala Kreasi Mandiri, Suhendrik selaku pengendali Agensi BSC Advertising dan PT Wahana Semesta Bandung Ekspres (WSBE), serta Sophan Jaya adalah pengendali PT Cipta Karya Sukses Bersama (CKSB) dan PT Cipta Karya Mandiri Bersama (CKMB).
"Mengefisienkan seluruh belanja yang ada di Bank Jabar atau BUMD-nya. Biaya operasionalnya harus terus diefisienkan. Kalau dulu misalnya angka biaya promosi Bank Jabar itu mencapai angka Rp400 miliar. Hari ini saya sudah meminta di bawah Rp100 miliar," jelas Dedi.
Dedi mengaku efisiensi tersebut dilakukan bukan hanya dampak dari kasus yang tengah ditangani KPK saat ini, melainkan untuk menstabilkan kembali Bank bjb. Karena, lanjut Dedi, temuan-temuan terus didapatkan setelah dilakukan audit atas penggunaan anggaran yang tidak tepat sasaran.
"Pengurangan anggaran bukan dampak kasus, tapi logika usaha. Itu logikanya tidak memiliki stabilitas. Saya bisa boleh kalau saya mengkritik misalnya anggaran untuk pemasaran mencapai Rp600 miliar. Tapi yang dipasarkannya malah ngemplang. Kan artinya ada kurva antara anggaran yang dikeluarkan tidak melahirkan benefit yang memadai," ungkap Dedi.