Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto. Foto: Metrotvnews.com/Candra.
Candra Yuri Nuralam • 15 April 2025 14:10
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut dua direksi di PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB) Tbk kompak mangkir saat dipanggil penyidik, kemarin, 14 April 2025. Keterangan keduanya dibutuhkan sebagai saksi atas kasus dugaan rasuah pengadaan iklan di sana.
“Kedua saksi meminta penjadwalan ulang,” kata juru bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto melalui keterangan tertulis, Selasa, 15 April 2025.
Direksi BJB yang mangkir dari pemeriksaan yaitu Group Head Humas Divisi Corporate Secretary BJB Indra Maulana dan Manager Grup Marketing Komunikasi BJB Purwana Bagja. Tessa belum bisa memerinci waktu pasti pemanggilan ulang kedua orang itu.
Mereka diharap memenuhi panggilan saat dipanggil lagi, nanti. Tessa belum bisa memerinci pertanyaan yang mau diulik penyidik kepada mereka berdua.
KPK menetapkan lima tersangka dalam kasus ini, yakni, Eks Dirut BJB Yuddy Renaldi, Divisi Corsec BJB Widi Hartono, Pengendali Agensi Antedja Muliatana dan Cakrawala Kreasi Mandiri Ikin Asikin Dulmanan, Pengendali Agensi BSC Advertising dan WSBE Suhendrik, dan Pengendali Agensi CKMB dan CKSB Sophan Jaya Kusuma.
KPK sudah menggeledah sejumlah lokasi terkait kasus ini. Salah satunya yakni rumah mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
KPK menyita sejumlah dokumen terkait kasus ini dari rumah Ridwan Kamil. Selain itu, penyidik juga menggeledah Kantor BJB di Bandung.
Kasus ini membuat negara merugi Rp222 miliar. Tindakan rasuah ini berlangsung pada 2021 sampai 2023. BJB sejatinya menyiapkan dana Rp409 miliar untuk penayangan iklan di media TV, cetak, dan
online.
Ada enam perusahaan yang diguyur uang dari pengadaan iklan ini. Rinciannya yakni, PT CKMB sebesar Rp41 miliar, PT CKSB Rp105 miliar, PT AM Rp99 miliar, PT CKM Rp81 miliar, PT BSCA Rp33 miliar, dan PT WSBE Rp49 miliar.
KPK menyebut penunjukan agensi tidak dilakukan berdasarkan ketentuan pengadaan barang dan jasa yang berlaku. Lembaga Antirasuah mengendus adanya selisih pembayaran yang membuat negara merugi lebih dari dua ratus miliar rupiah.