PM Israel Benjamin Netanyahu. (Anadolu Agency)
Tel Aviv: Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu mengumumkan rencana memberhentikan Kepala Badan Keamanan Dalam Negeri (Shin Bet), Ronen Bar, di tengah ketegangan politik dan penyelidikan skandal di lingkaran pemerintahannya. Langkah ini memicu kontroversi setelah Bar menuding keputusan tersebut bermotif politik dan menyebut Netanyahu mengharapkan "kesetiaan pribadi".
Dalam pernyataan video yang dirilis, Netanyahu menyebutkan bahwa keputusannya diambil karena "kurangnya kepercayaan yang berkelanjutan" terhadap kepemimpinan Bar.
"Karena tidak adanya rasa percaya yang berkelanjutan, saya memutuskan untuk mengajukan proposal kepada kabinet guna mengakhiri masa jabatan Kepala Shin Bet, Ronen Bar," kata Netanyahu, seperti dikutip New Arab, Senin 17 Maret 2025.
Ia menambahkan bahwa hubungan yang solid antara perdana menteri dan kepala Shin Bet sangat penting, terutama ketika Israel masih berada dalam situasi perang.
"Untuk memulihkan organisasi, mencapai seluruh tujuan perang, dan mencegah bencana berikutnya, pemberhentian ini menjadi suatu keharusan," tegas Netanyahu.
Ketegangan antara Netanyahu dan Bar mencuat setelah laporan internal Shin Bet yang dirilis pada 4 Maret mengakui kegagalan badan tersebut dalam mencegah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Serangan tersebut menewaskan 1.218 orang di pihak Israel, sebagian besar warga sipil.
Sebagai balasan, Israel melancarkan serangan ke Jalur Gaza yang hingga kini telah menyebabkan lebih dari 48.572 kematian, yang sebagian besar juga warga sipil, menurut data dari kedua belah pihak.
Bermotif Politik
Menanggapi rencana pemecatan tersebut, Ronen Bar menolak anggapan bahwa langkah Netanyahu berkaitan dengan kegagalan Shin Bet mencegah serangan 7 Oktober. Ia menilai keputusan tersebut didorong oleh kepentingan politik.
"Saya telah bertanggung jawab atas bagian lembaga dalam kegagalan ini, tetapi jelas bahwa motif di balik pemecatan saya bukanlah peristiwa 7 Oktober," ujar Bar.
Ia juga mengkritik ekspektasi Netanyahu yang menurutnya bertentangan dengan kepentingan publik.
"Harapan perdana menteri terhadap kesetiaan pribadi yang bertentangan dengan kepentingan publik adalah sesuatu yang sangat tidak pantas," tegasnya.
Hubungan antara keduanya telah memburuk sejak lama, terutama terkait usulan reformasi peradilan yang memicu perpecahan di Israel. Ketegangan meningkat setelah munculnya laporan media yang menyebut adanya penyelidikan terhadap beberapa pembantu Netanyahu yang diduga menerima pembayaran dari Qatar selama perang di Gaza berlangsung.
Penyelidikan dan Penolakan Pemberhentian
Langkah Netanyahu mendapat sorotan dari Jaksa Agung Israel, Gali Baharav-Miara, yang menilai upaya pemberhentian ini belum memiliki dasar hukum yang jelas. Dalam suratnya kepada Netanyahu, Baharav-Miara menyatakan bahwa keputusan tersebut "tidak memiliki preseden" dan proses pemberhentian tidak dapat dilakukan sebelum landasan faktual dan hukum diperjelas.
Media Israel melaporkan bahwa posisi Bar mulai dilemahkan setelah ia dikecualikan dari pertemuan kabinet keamanan terbaru serta pembicaraan gencatan senjata di Qatar. Negosiasi tersebut kini dipimpin oleh wakilnya yang hanya dikenal sebagai 'M'.
Bar menegaskan perlunya penyelidikan menyeluruh atas kegagalan intelijen, termasuk kebijakan pemerintah dan keputusan Netanyahu sendiri.
"Semua pihak harus diselidiki, termasuk kebijakan pemerintah dan perdana menteri, bukan hanya IDF dan Shin Bet," tegasnya.
Oposisi Akan Ajukan Gugatan
Rencana pemberhentian ini mendapat reaksi keras dari pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid. Ia menyebut langkah tersebut sebagai "upaya menghalangi penyelidikan kriminal serius terhadap Kantor Perdana Menteri".
Lapid mengumumkan bahwa partainya, Yesh Atid, akan mengajukan petisi hukum ke Mahkamah Agung untuk membatalkan keputusan Netanyahu.
"Upaya ini bukan untuk memperbaiki kegagalan Shin Bet, melainkan sabotase terhadap penyelidikan yang sedang berlangsung," tulis Lapid di X.
Di tengah ketegangan internal yang semakin memanas, keputusan Netanyahu ini dipandang sebagai langkah berisiko yang dapat memperdalam krisis politik di Israel, terutama di saat negara tersebut masih berhadapan dengan konflik berkepanjangan di Gaza. (
Muhammad Reyhansyah)
Baca juga:
Eropa Tolak Surat Penangkapan Netanyahu, Contoh Kemunafikan Sekaligus Rasisme