Ilustrasi korupsi. Medcom.id
Jakarta: Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang akan memaafkan dan memberikan kesempatan para koruptor untuk tobat dengan syarat harus mengembalikan uang rakyat yang dicuri dinilai akan sangat sulit dijalankan. Sebab, selama ini banyak koruptor yang tak mau mengakui perbuatannya.
“Saya hanya mempertanyakan efektivitas seruan itu, karena koruptor yang disidangkan saja sering mengaku tidak korupsi, bagaimana caranya kemudian koruptor ini seakan-akan (bisa) diambil hatinya supaya mengembalikan uang yang dicurinya,” ujar Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman kepada Media Indonesia, Kamis, 18 Desember 2024.
Menurut Boyamin, mustahil membuat para koruptor menyadari kesalahan dan perilaku jahatnya hanya dengan sebuah seruan normatif dalam pidato presiden. “Jadi tidak mungkin rasanya mereka mengaku dan menyerahkan kepada pemerintah sesuai anjuran Pak Prabowo, karena ketika diproses hukum saja mereka masih mangkir,” ujar dia.
Namun, Boyamin memaknai seruan Presiden sebagai pendekatan yang ‘murah meriah’ untuk mengembalikan aset negara melalui mediasi personal. Menurut dia, itu jauh lebih murah daripada dengan metode hukum melalui jalur persidangan.
“Jadi saya kira itu strategi untuk mengembalikan uang yang telah dicuri, karena kalau nanti disidangkan juga belum tentu uang penggantinya maksimal, tapi justru kita kehabisan biaya untuk menangani perkara pemberantasan korupsi pada penegakan hukumnya,” ungkap dia.
Pengembalian Kerugian Negara Tak Bisa Hapus Pidana
Boyamin juga menegaskan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi dengan tegas mengatakan pengembalian kerugian negara tidak dapat menghapus pidana. Sehingga, proses hukum tetap berjalan, meskipun koruptor mengembalikan uang rakyat yang dirampok.
“Jadi itu artinya, pada saat penyelidikan atau bahkan saat koruptor rela mengembalikan uang yang dikorupsikan, maka kerugian memang tidak muncul sehingga hangus, tapi tetap perbuatannya tetap dianggap sebagai kriminal kejahatan yaitu korupsi,” ungkap dia.
Boyamin mengatakan Presiden melalui Kejaksaan Agung masih bisa memberikan pengampunan kepada koruptor yang telah mengembalikan aset negara. Ini hanya bisa dilakukan saat belum terjadi proses penyelidikan dan penyidikan secara hukum.
“Disebut korupsi karena ada kerugian negara dan sepanjang kerugian negara itu sudah dikembalikan ya boleh saja diampuni, selagi belum proses penyelidikan dan penyidikan juga belum dituntut. Seruan Prabowo bisa saja dilaksanakan jika kondisinya demikian,” ujar dia.
Namun, Boyamin menegaskan pengampunan itu juga hanya bisa diberikan kepada tersangka korupsi yang disebabkan kelalaian administrasi. Bukan pada kasus korupsi yang dilakukan dengan kejahatan sengaja.
“Jika diketahui bahwa mereka memang melakukan korupsi itu dengan niat yang jahatnya sudah kelihatan dengan mens rea ya tidak bisa diampuni, tapi kalau mereka dinyatakan korupsi karena hanya kesalahan prosedur itu bisa,” jelas dia.
Jika pemerintah berencana menjalankan sistem pengampunan kepada koruptor yang telah mengembalikan aset negara, Boyamin mendorong diterapkan sistem pemulihan bagi individu dan organisasi agar tak kembali melakukan korupsi.
“Kalau kita mau seperti Negara Amerika, koruptor bisa diampuni, tapi setelah itu dibuat treatment untuk tidak korupsi lagi secara perusahaan atau individu, cara itu baru bisa dijalankan dengan istilah amnesti atau pengampunan dan pemutihan,” ujar dia.