Kami Sudah Tak Mau Lari Lagi: Trauma Banjir Membekas di Pidie Jaya

Linda,warga Desa Meunasah Mancang, Kecamatan Meurah Dua, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Foto: Metrotvnews.com/Fajri Fatmawati

Kami Sudah Tak Mau Lari Lagi: Trauma Banjir Membekas di Pidie Jaya

Fajri Fatmawati • 17 December 2025 07:05

Pidie Jaya: Di bawah panggung kayu khas Aceh yang biasanya digunakan sebagai meunasah (musala), Linda, 43, duduk memeluk lututnya. Bangunan itu kini tak lagi menjadi tempat ibadah, melainkan tenda darurat bagi para penyintas banjir bandang di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh.

Tatapan Linda kosong. Setiap kali langit berubah kelabu, ingatannya kembali ke hari ketika air datang tanpa ampun, menghapus batas aman yang selama ini ia percayai.

“Sekarang lihat mendung saja sudah takut. Jantung berdebar sendiri,” ujarnya lirih saat ditemui Metrotvnews.com di lokasi pengungsian, Selasa, 16 Desember 2025.

Bangunan panggung kayu khas Aceh yang biasanya digunakan sebagai musala, kini menjadi tempat pengungsian. (Metrotvnews.com/Fajri Fatmawati)

Linda adalah warga Desa Meunasah Mancang, Kecamatan Meurah Dua. Ia termasuk ribuan korban yang hingga kini masih bergulat dengan trauma panjang pascabencana. Desa yang selama ini diyakini sebagai wilayah tertinggi dan relatif aman, justru berubah menjadi lautan lumpur dalam sekejap.

“Desa kami paling tinggi. Tapi airnya lebih dari dua meter, lumpurnya setinggi satu meter,” kenangnya.

Banjir bandang tidak hanya membawa air. Dia menerangkan, sungai tersumbat kayu dan material dari hulu. Aliran air lalu mencari jalannya sendiri, menembus permukiman, merobohkan rumah, dan mengubah kampung menjadi kepungan arus baru.

"Kampung kami dikelilingi aliran air sungai baru akibat banjir bandang, karena sungai yang dulu penuh dengan kayu jadi aliran airnya buka jalur sendiri ke permukiman,” ungkap Linda.

Aliran sungai tersumbat kayu dan material dari hulu. Aliran air lalu mencari jalannya sendiri, menembus permukiman, merobohkan rumah. (Metrotvnews.com/Fajri Fatmawati)

Sejak hari itu, ketakutan tak lagi datang hanya saat hujan deras, tetapi juga saat kabar burung tentang air naik menyebar di antara para pengungsi. Namun alih-alih menyelamatkan diri, yang tersisa justru kepasrahan.

"Kalau ada kabar air naik pun kami sudah nggak mau lari lagi. Di sini saja. Kami takut. Ya udah, gatau bilang, udah pasrah,” ucap Linda, pelan.


Aliran sungai tersumbat kayu dan material dari hulu. Aliran air lalu mencari jalannya sendiri, menembus permukiman, merobohkan rumah. (Metrotvnews.com/Fajri Fatmawati)

Linda menatap sekeliling, anak-anak, ibu-ibu, dan lansia yang berdesakan di tempat pengungsian. Tak ada lagi energi untuk panik, apalagi berlari.

“Di sini saja. Kami takut. Ya sudah, pasrah,” ucapnya datar.

Di balik tumpukan lumpur dan bangunan yang runtuh, suara Linda mewakili jeritan sunyi banyak warga Pidie Jaya, mereka selamat secara fisik, tetapi jiwanya masih tertinggal di hari ketika banjir bandang merenggut rasa aman untuk selamanya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Lukman Diah Sari)