Pertamina berkomitmen mengembangkan bahan bakar nabati untuk mewujudkan ketahanan energi dan memperkokoh pertumbuhan ekonomi nasional (Foto:Dok.Pertamina)
Patrick Pinaria • 28 November 2025 21:27
Jakarta: PT Pertamina (Persero) kembali menegaskan komitmen dalam transisi menuju energi bersih melalui pengembangan bahan bakar nabati, untuk mewujudkan ketahanan energi dan memperkokoh pertumbuhan ekonomi nasional.
Hal tersebut ditegaskan oleh Direktur Transformasi dan Keberlanjutan Bisnis PT Pertamina (Persero) Agung Wicaksono pada diskusi bertajuk “Navigating Growth in a Sustainable World After COP30” dalam gelaran “Sustainability Summit,” pada Rabu, 26 November 2025.
Hadir dalam acara tersebut, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq dan sejumlah tokoh lainnya. Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq menegaskan perlunya perubahan pendekatan dalam mengelola krisis iklim global. COP30 membidik sejumlah fokus utama bagi negara-negara di dunia untuk mempercepat komitmen kontribusi (nationally determined contribution/NDC) serta rencana adaptasi (national adaption plan/NAP) nasional untuk mengatasi perubahan iklim.
“Yang kita hadapi bukan sekadar perdebatan negara maju dan negara berkembang, tetapi bencana iklim global. Karena itu, negosiasi harus bergerak menjadi implementasi. Indonesia mengambil peluang sebesar-besarnya untuk memastikan aksi nyata terjadi di dalam negeri,” ujarnya.
Direktur Transformasi dan Keberlanjutan Bisnis PT Pertamina (Persero) Agung Wicaksono menegaskan bahwa agenda global untuk energi bersih sejalan dengan komitmen Pertamina, khususnya mewujudkan ketahanan energi nasional. Pertamina menjadi salah satu delegasi yang turut serta dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB COP30 di Belem, Brasil pada 10-21 November lalu.
"Sekembalinya dari COP30-Brasil, ada sebuah oleh-oleh, sebuah pesan bahwa Indonesia sebagai negara bisa tetap mencapai ketahanan energi, bisa tetap kokoh secara ekonomi, dengan mengembangkan bahan bakar yang berbasis non fosil, nabati.," ujar Agung.
Partisipasi Pertamina di COP30 adalah bukti bahwa aksi untuk mengatasi perubahan iklim tidak hanya menjadi tanggung jawab negara, tetapi memerlukan keterlibatan aktif pelaku usaha.
“Jadi ini pelajaran berharga bagi kita, bagi Pertamina, datang ke Brasil, datang ke COP, kita berkontribusi terhadap pengurangan emisi, agenda pemerintah Indonesia, serta termasuk transaksi karbon kredit,” kata Agung.
Pertamina, lanjut Agung, adalah perusahaan energi Indonesia dengan produksi migas 1,04 juta barrel minyak ekuivalen per hari (boepd). Dia mengakui, energi fosil masih sangat menentukan ekonomi Indonesia. Namun demikian, Perseroan telah memulai langkah transformasi untuk melakukan perubahan dari energi fosil menuju energi non-fosil yang lebih ramah lingkungan.
Direktur Transformasi dan Keberlanjutan Bisnis PT Pertamina (Persero) Agung Wicaksono (Foto:Dok.Pertamina)
Langkah-langkah nyata terebut sejalan dengan strategi pertumbuhan ganda yang diterapkan Pertamina dengan memperkuat bisnis eksisting dan pengembangan bisnis hijau. Salah satu langkah pengembangan bisnis hijau yakni pengembangan bahan bakar berbasis nabati. Perseroan telah menghadirkan Pertamax Green 95 yang kini menggunakan 5% etanol dan telah tersedia di 163 SPBU. “Ini baru permulaan, dan akan kami perluas,” ujar Agung.
Selain itu, Pertamina berhasil mengembangkan bahan bakar yang ramah lingkungan untuk pesawat (Sustainable Aviation Fuel/SAF) berbasis use cooking oil (UCO) alias minyak jelantah.
Agung juga menegaskan bahwa seluruh agenda energi bersih ini merupakan bagian dari transformasi Pertamina. Menurut dia, strategi ini dapat mempercepat penguatan ekosistem energi rendah karbon dan memperkuat posisi Indonesia menuju ekonomi hijau.
“Pertamina saat ini sedang berbenah. Banyak tuntutan masyarakat yang terus kami jawab. Di bawah kepemimpinan Pak Simon Aloysius Mantiri, kami mengambil langkah transformasi demi keberlanjutan bisnis Pertamina, karena Pertamina harus menjadi the indispensable company bagi Indonesia,” ujarnya.
Oleh-oleh COP30
Salah satu capaian utama Pertamina dalam COP30 yakni dukungan kuat dari pemerintah Indonesia dan para pemangku kepentingan global untuk mempercepat pengembangan Sustainable Aviation Fuel (SAF). Dukungan tersebut mencakup kerangka regulasi, insentif fiskal, serta standar teknis yang memudahkan adopsi SAF di industri penerbangan.
Selain SAF, Pertamina membawa pembelajaran penting dari Brasil yang dikenal sebagai superpower dalam pengembangan etanol yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Pengalaman Brasil tersebut memberikan referensi signifikan bagi Indonesia, terutama setelah Presiden mengarahkan pengembangan bioetanol nasional melalui kebijakan mandatori E10.
"Tidak ada SPBU di Brasil yang tidak menjual etanol. Bensin itu campurannya wajib 30% etanol, atau E30. Bahkan ada juga 100% etanol, yang harganya 70% lebih murah dari bensin. Tidak hanya itu, melalui program ini mereka ternyata sudah mengurangi emisi karbon sampai saat ini senilai 2,4 miliar ton CO2e. Ini bukti bahwa biofuel bukan hanya solusi iklim, tapi juga daya dorong ekonomi,” kata Agung.
Melihat langsung kondisi di lapangan, Pertamina menilai bahwa keberhasilan Brasil tidak hanya meningkatkan kualitas bahan bakar, tetapi juga memberi keuntungan ekonomi yang signifikan karena masyarakat dapat mengakses etanol dengan harga jauh lebih murah dibandingkan bensin.
Ekosistem tersebut juga mampu mengurangi ketergantungan impor energi, membuka lapangan kerja, dan menjaga hutan melalui pengelolaan terukur yang berbasis tanaman yang dapat diperbarui.