Setahun Setelah Revolusi, Apakah Suriah Menjadi Lebih Baik?

Perayaan satu tahun tumbangnya rezim Assad. (SANA)

Setahun Setelah Revolusi, Apakah Suriah Menjadi Lebih Baik?

Riza Aslam Khaeron • 7 December 2025 19:40

Jakarta: Setahun berlalu sejak perang sipil Suriah berakhir. Konflik berdarah yang berlangsung selama 13 tahun itu akhirnya usai dengan runtuhnya rezim Bashar al-Assad dan pelarian sang mantan presiden ke Rusia, mengakhiri dinasti yang telah bertahan selama 50 tahun di Suriah.

Kejatuhan rezim tersebut terjadi melalui serangan ofensif selama sepuluh hari yang dipimpin oleh kelompok Islamis Hay'at Tahrir al-Sham (HTS), di bawah komando Abu Muhammad al-Julani. Julani, mantan anggota Al-Qaeda dan ISIS, sebelumnya memerintah wilayah Idlib sebelum akhirnya berhasil merebut Damaskus.

Pada awal masa pemerintahannya, Julani yang kini dikenal dengan nama Ahmed al-Sharaa, menjanjikan masa depan Suriah yang lebih baik: negara yang demokratis, toleran, dan mampu meningkatkan kualitas hidup rakyatnya. Janji tersebut disampaikan kepada warga Suriah maupun komunitas internasional.

Meski tumbangnya rezim Assad menumbuhkan harapan baru, sebagian masyarakat tetap memandang skeptis. Mereka meragukan perubahan akan benar-benar terjadi, mengingat sejarah pergantian rezim kerap berakhir tanpa pemenuhan janji-janji yang pernah diucapkan oleh pemimpin baru.

Kini, satu tahun telah berlalu sejak Ahmed al-Sharaa memegang kekuasaan. Pertanyaannya sekarang adalah apakah pemerintahannya berhasil memenuhi janji-janjinya? Berikut ini adalah tinjauan atas capaian dan tantangan yang dihadapi Suriah dalam satu tahun terakhir.
 

Prestasi Pemerintahan Ahmed al-Sharaa (Satu Tahun Pertama)

Dalam satu tahun sejak tumbangnya Bashar al-Assad, pemerintahan transisi di bawah Presiden Ahmed al-Sharaa mencatat sejumlah capaian awal yang memberi alasan untuk optimisme, meski masih rapuh dan sangat bergantung pada konsolidasi lanjutan.
 

Terobosan Hubungan Diplomatik

Pemerintah baru dinilai berhasil melakukan terobosan diplomatik untuk mengakhiri isolasi internasional. CSIS mencatat bahwa pemerintahan transisi dengan cepat membangun relasi dengan kekuatan regional dan global.

Puncaknya, al-Sharaa menjadi presiden Suriah pertama yang mengunjungi Gedung Putih pada November 2025, simbol penting pengakuan dan pembukaan kanal politik baru. Selain Amerika Serikat, beberapa negara Barat seperti Kanada juga mencabut sanksi ekonomi terhadap Suriah, termasuk pada 6 Desember 2025.
 

Keamanan Lebih Terkendali

Terdapat indikasi kuat perbaikan keamanan. Kekerasan dilaporkan menurun dan mencapai titik terendah pada November 2025, memberi ruang bagi stabilisasi dan pemulihan awal. 

Menurut data Syrian Weekly pada 26 November 2025, jumlah korban jiwa di seluruh Suriah hanya mencapai 16 orang selama periode 18–25 November 2025, angka terendah sejak perang dimulai.
 

Tanda-Tanda Pemulihan Ekonomi

Pemerintah memperoleh momentum ekonomi setelah Presiden Trump mengumumkan pencabutan sanksi terhadap Suriah. Dalam konteks ini, CSIS mencatat bahwa kondisi ekonomi mulai membaik. Pemerintah juga berhasil meningkatkan pasokan listrik di wilayah perkotaan. IMF pun mencatat tanda-tanda pemulihan setelah timnya berkunjung ke Damaskus.

"Ekonomi Suriah menunjukkan tanda-tanda pemulihan dan prospek yang membaik. Hal ini mencerminkan membaiknya sentimen konsumen dan investor di bawah rezim baru, serta reintegrasi bertahap Suriah ke dalam ekonomi regional dan global seiring dengan dicabutnya sanksi-sanksi. Lebih dari satu juta pengungsi juga telah kembali. Di tengah berbagai keterbatasan, pemerintah berhasil menerapkan kebijakan fiskal dan moneter yang ketat guna menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan," tulis IMF dalam laporannya, 17 November 2025.
 

Kebebasan Ekspresi Lebih Terbuka

Setelah kejatuhan Assad, muncul ruang kebebasan berekspresi dan berserikat yang lebih luas, didukung oleh kehidupan masyarakat sipil yang lebih dinamis. CSIS yang sejak 2011 mengunjungi Damaskus, menyatakan bahwa warga Suriah kini dapat mengekspresikan diri tanpa ketakutan terhadap aparat dan intelijen rahasia (mukhabarat).

"Saat berjalan di Souq Hamidiyeh di Damaskus pada suatu malam, seorang teman warga Suriah memarahi aparat keamanan berpakaian hitam yang membawa senjata besar karena telah menutup jalan menuju situs bersejarah akibat kedatangan pejabat tinggi. 'Kenapa kalian menutup jalan? Kami tidak menyingkirkan satu diktator hanya untuk digantikan oleh diktator lain,' ujarnya kepada mereka. Para aparat membalas dengan sopan dan kami pun melanjutkan perjalanan ke tempat makan. Dalam rezim Assad, semua orang ini kemungkinan besar sudah ditangkap dan mungkin tidak akan pernah terlihat lagi," tulis pengamat CSIS Mona Yacoubian dan Will Todman dalam laporannya pada 4 Desember 2025.
 

Langkah Awal Pemberantasan Korupsi

Pemerintahan al-Sharaa juga memberikan sinyal awal untuk menertibkan praktik nepotisme dan korupsi. Salah satu langkah tegasnya adalah ketika ia memerintahkan penutupan kantor kakaknya pada Agustus 2025 setelah muncul tuduhan penyalahgunaan nama keluarga untuk kepentingan pribadi.

Secara keseluruhan, prestasi tahun pertama pemerintahan al-Sharaa meliputi pembukaan ruang politik dan diplomatik, penurunan tingkat kekerasan, tanda-tanda pemulihan ekonomi dan layanan dasar, serta iklim sosial yang lebih terbuka.

Meski demikian, semua capaian ini masih merupakan fondasi awal yang membutuhkan pembuktian lanjutan dalam konsolidasi demokrasi dan pembangunan nasional.
 
Baca Juga:
Setahun Tumbangnya Assad: Presiden Sharaa Sebut Suriah Menuju Persatuan
 

Tantangan Pemerintahan Ahmed al-Sharaa (Satu Tahun Pertama)

Meski menghadirkan harapan baru, CSIS menilai transisi Suriah masih sangat rapuh dan dapat tergelincir jika hambatan-hambatan kunci tidak segera diatasi. Tantangan utamanya meliputi aspek sosial-politik, tata kelola, hingga rekonstruksi pascaperang
 

Ketegangan Sektarian yang Masih Tinggi

Transisi Suriah dibayangi konflik sektarian yang menunjukkan betapa dalamnya defisit kepercayaan antarkelompok.

Sejak jatuhnya Assad, lebih dari 3.400 orang dilaporkan tewas dalam kekerasan sektarian, termasuk gejolak di Homs antara Sunni dan Alawi, kekerasan besar terhadap komunitas Alawi di pesisir pada Maret, serta bentrokan antara Sunni Badui dan komunitas Druze di Sweida pada Juli. 

CSIS menekankan bahwa tanpa langkah-langkah membangun kepercayaan dan rekonsiliasi, Suriah semakin rentan terhadap campur tangan asing ketika kelompok-kelompok minoritas memperkuat relasi dengan aktor eksternal seperti hubungan Druze dengan Israel.
 

Integrasi Wilayah Minoritas yang Tersendat

Episode kekerasan sektarian turut menghambat integrasi daerah-daerah yang dikuasai minoritas, khususnya wilayah timur laut yang didominasi Kurdi dan Sweida yang dipimpin Druze. Kemajuan integrasi dinilai lambat karena jurang ketidakpercayaan yang besar antara pemerintah transisi dan para pemimpin komunitas setempat. 
 

Konsentrasi Kekuasaan dan Risiko Kemunduran Politik

CSIS menyoroti bahwa kekuasaan masih terpusat di lingkar inti kepresidenan dan kementerian tertentu, dengan Kementerian Luar Negeri muncul sebagai salah satu poros kekuasaan yang sangat dominan.

Sejumlah aktivis masyarakat sipil bahkan menyebut Konferensi Dialog Nasional Februari 2025 dan pemilu parlemen sebagai “teater”, sementara pemerintah belum menunjukkan sinyal jelas kapan akan melegalkan partai politik. 
 

Rekonstruksi Lambat dan Tidak Merata

Suriah masih menghadapi kehancuran luas, terutama di wilayah pedesaan. Bank Dunia memperkirakan biaya rekonstruksi mencapai sekitar USD 216 miliar. Sementara itu, rencana respons kemanusiaan PBB senilai USD 3,2 miliar disebut baru terdanai 25 persen.

Kekurangan dana, lonjakan biaya tenaga kerja konstruksi, kelangkaan alat khusus, serta hambatan perizinan yang bersifat terpusat membuat laju pemulihan jauh dari ekspektasi publik.

Berdasarkan hasil tersebut, pemerintah Suriah yang baru telah berhasil melakukan langkah awal yang baik, seperti pemulihan ekonomi, terobosan hubungan diplomatik, kebebasan ekspresi yang lebih leluasa. Namun permasalahan utama yang dihadapi saat ini adalah isu sektarianisme.

Ketika konflik berlangsung di bulan Maret dan Juli, muncul banyak video beredar yang merekam bukti kejahatan kemanusiaan aparatur kemanan Suriah seperti pembantaian di rumah sakit Suwayda pada bulan Juli. Beberapa pihak menyatakan orang-orang ekstremis telah masuk ke dalam pemerintahan Suriah yang memantik isu sektarianisme di negara tersebut.

Adapun isu pemilu, dimana presiden al-Sharaa menjanjikan pemilu presiden setidaknya 4 tahun setelah pemerintahan interim dibentuk dengan pemilu parlementer sebagai langkah awal. Namun beberapa kalangan masih tidak puas terhadap performa peforma pemilu pada bulan Oktober tersebut, khususnya dari kalangan Kurdi.

Namun, Pemerintah telah membuktikan bahwa mereka dapat merespons dengan baik kekhawatiran dari isu-isu tersebut yang tepat terkait seperti dengan pembentukan badan investigasi kejahatan terkait konflik di pesisir yang dilaporkan pada bulan Juli yang berujung pada 14 orang terdakwa pada bulan November.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Willy Haryono)