Asap mengepul di atas kota selama pertempuran yang sedang berlangsung antara tentara Sudan dan paramiliter RSF di Khartoum, Sudan, 19 April 2023. (EPA-EFE)
Sudan di Ambang Kehancuran saat Perang Saudara Kian Brutal
Muhammad Reyhansyah • 27 December 2025 08:58
Khartoum: Perang saudara di Sudan telah memasuki fase paling parah sejak pecah pada April 2023. Konflik antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan milisi paramiliter Rapid Support Forces (RSF) tidak lagi sekadar perebutan kekuasaan, tetapi telah berubah menjadi perang berkepanjangan yang menghancurkan sendi kehidupan negara tersebut dan menyeret jutaan warga ke dalam krisis kemanusiaan berskala raksasa.
Hampir dua tahun konflik tanpa jeda melumpuhkan negara Afrika Timur Laut itu. Pertempuran yang awalnya terkonsentrasi di Khartoum dengan cepat meluas ke Darfur, Kordofan, dan wilayah strategis lainnya.
Kota-kota besar berubah menjadi medan tempur, sementara desa-desa terpencil menjadi sasaran kekerasan bersenjata, penjarahan, dan pembakaran. Struktur sosial runtuh, ekonomi hancur, dan layanan publik nyaris berhenti berfungsi.
Menurut PBB, perang yang kini mendekati 1.000 hari telah berkembang dari konfrontasi militer menjadi bencana kemanusiaan multidimensi, ditandai meningkatnya intensitas permusuhan, melonjaknya korban sipil, serta ancaman serius terhadap pekerja bantuan. Lebih dari 30 juta orang, sekitar dua pertiga populasi Sudan kini membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Krisis Kemanusiaan Memburuk
Dampak paling nyata dari konflik ini adalah pengungsian massal dalam skala belum pernah terjadi sebelumnya. Hingga pertengahan Desember 2025, lebih dari 14 juta warga Sudan kehilangan rumah mereka. Sekitar 9,5 juta mengungsi di dalam negeri, hidup berpindah-pindah di kamp darurat, sekolah kosong, atau bangunan rusak tanpa perlindungan memadai.Sementara itu, lebih dari empat juta orang melarikan diri ke luar negeri, menyeberang ke Chad, Mesir, Ethiopia, Sudan Selatan, dan Republik Afrika Tengah. Negara-negara tetangga yang juga menghadapi tekanan ekonomi kini kewalahan menampung arus pengungsi, meningkatkan risiko ketidakstabilan kawasan.
Bersamaan dengan pengungsian massal, kelaparan meluas dengan cepat. Perang menghancurkan jalur distribusi pangan, memutus akses ke lahan pertanian, serta melumpuhkan pasar dan sistem logistik. Lebih dari 24 juta orang, hampir separuh populasi menghadapi ketidakamanan pangan akut, dengan ratusan ribu berada pada tingkat kelaparan paling ekstrem.
Wilayah seperti Darfur Utara dan Kordofan Selatan dilaporkan telah mencapai kondisi yang setara dengan kelaparan tertinggi. Banyak keluarga hanya mampu makan sekali sehari atau bahkan bertahan berhari-hari tanpa makanan. Anak-anak menjadi kelompok paling rentan, dengan risiko gizi buruk akut yang mengancam nyawa.
Krisis pangan ini diperparah oleh runtuhnya sistem kesehatan nasional. Sekitar 80 persen fasilitas kesehatan di wilayah terdampak tidak lagi berfungsi akibat pertempuran, kekurangan tenaga medis, serta kerusakan infrastruktur. Fasilitas yang masih beroperasi menghadapi kelangkaan obat, listrik, dan air bersih, sehingga wabah penyakit seperti kolera dan malaria menyebar luas.
Perempuan dan anak-anak menghadapi ancaman berlapis. Organisasi kemanusiaan mencatat lonjakan kekerasan seksual, perekrutan anak, serta pelanggaran HAM berat, terutama di Darfur.
Salah satu episode paling gelap terjadi pada April 2025, ketika RSF dilaporkan menyerang kamp pengungsian Zamzam. Laporan PBB menyebut lebih dari 1.000 warga sipil tewas, termasuk eksekusi dari rumah ke rumah, pembunuhan di pasar dan fasilitas kesehatan, serta kekerasan seksual sistematis.
Jumlah korban tewas secara keseluruhan sulit dipastikan karena keterbatasan akses dan keamanan, namun peneliti dan kelompok bantuan memperkirakan angka kematian berkisar dari puluhan ribu hingga lebih dari 150.000 jiwa, dengan kemungkinan lebih tinggi.
Eskalasi Konflik Terus Meluas
Di tengah krisis kemanusiaan yang memburuk, situasi keamanan juga menunjukkan eskalasi baru. Menjelang akhir Desember, PBB memperingatkan meluasnya pertempuran ke wilayah Kordofan, termasuk serangan drone dan kekerasan intens yang menewaskan lebih dari 100 warga sipil dalam beberapa pekan terakhir serta menghantam sekolah dan fasilitas kesehatan.Laporan lain menyebut sebuah landasan udara terpencil di Kufrah, Libya, kini berfungsi sebagai jalur suplai logistik utama bagi RSF. Pangkalan tersebut digunakan untuk mengirim persenjataan dan personel guna memperkuat konsolidasi RSF di wilayah seperti El-Fasher dan memperluas kontrol di selatan Sudan, meskipun pemerintah pusat telah merebut kembali Khartoum pada Maret lalu.
Upaya bantuan internasional terus menghadapi hambatan serius. Akses kemanusiaan kerap terhalang pertempuran aktif, pembatasan administratif, dan ancaman keamanan terhadap pekerja bantuan. Dana kemanusiaan yang tersedia masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan jutaan korban perang.
Di arena diplomatik, berbagai upaya dilakukan untuk menghentikan konflik. Pada 22 Desember, Perdana Menteri Sudan Kamil Idris membawa rencana damai ke Dewan Keamanan PBB, termasuk usulan gencatan senjata diawasi PBB serta penarikan RSF dari wilayah pendudukan.
Namun, kelompok paramiliter tersebut diperkirakan enggan menerima usulan yang berpotensi menghapus basis kekuasaannya.
Amerika Serikat (AS) bersama Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab terus mendesak penerapan gencatan senjata kemanusiaan segera, sembari mengecam aliran senjata yang memperpanjang konflik. Namun hingga kini, kebuntuan politik dan militer masih mendominasi.
Di tengah minimnya bantuan internasional, komunitas lokal berupaya mengisi kekosongan.
Mengutip The Guardian, jaringan Emergency Response Rooms (ERRs) muncul sebagai garda terdepan dalam menyalurkan makanan, obat-obatan, dan dukungan psikososial.
Lebih dari 26.000 relawan, sekitar 40 persen di antaranya perempuan beroperasi di hampir 100 distrik untuk menjangkau lebih dari 29 juta orang yang membutuhkan bantuan mendesak, meski menghadapi risiko penahanan, penyiksaan, hingga ancaman eksekusi.
Kini, perang di Sudan tidak lagi sekadar konflik internal. Kombinasi pengungsian massal, kelaparan meluas, runtuhnya layanan publik, serta kekerasan sistematis telah menjadikan Sudan salah satu tragedi kemanusiaan paling berat di abad ini, dengan dampak yang berpotensi mengguncang stabilitas kawasan Afrika Utara dan sekitarnya.
Baca juga: WFP: 33 Juta Warga Sudan Butuh Bantuan Pangan di Tengah Krisis Pendanaan