Rudi Hermawan, kontributor Metro TV di Kabupaten Pidie, Aceh. Foto: Dokumentasi pribadi
Fajri Fatmawati • 10 December 2025 15:49
Pidie: Di balik tayangan berita bencana banjir Aceh yang sampai ke layar kaca, terdapat perjuangan dan getir hati para jurnalis di lapangan. Salah satunya adalah Rudi Hermawan, kontributor Metro TV di Kabupaten Pidie, yang tidak hanya meliput bencana, tetapi juga menjadi korban terdampak. Rumahnya di kawasan Kembang Tanjung diterjang banjir bandang dengan ketinggian air yang belum pernah terjadi dalam sejarah keluarganya.
Profesionalisme Rudi tak luntur meski dirinya tertimpa musibah. Sempat vakum beberapa hari karena peralatan mati total, kini ia kembali bertugas. Namun, meliput di tengah kepiluan sendiri bukan perkara mudah.
"Kalau berbicara psikologi, kita pasti terganggu. Melihat kondisi memprihatinkan, masyarakat yang rumahnya hilang, ekonomi simpang siur, sampai keluarga yang terpisah, itu sangat menyentuh hati,” tutur Rudi kepada Metrotvnews.com, Rabu, 10 Desember 20225.
Rudi Hermawan, kontributor Metro TV di Kabupaten Pidie, Aceh. Foto: Dokumentasi pribadi
Baginya, liputan ini telah melampaui sekadar tugas. “Ini sudah menjadi bagian dari kita beramal. Tugas jurnalistik ini tidak hanya mencari informasi, tetapi juga memberi informasi sebagai bentuk kepedulian kepada masyarakat,” ujarnya.
Ada satu momen yang paling menyayat hatinya. “Ketika melihat ibu-ibu lansia atau anak-anak dalam kondisi banjir yang naik cepat, kita ingin menolong, tapi kita juga harus menyelamatkan diri sendiri. Rasanya sangat tidak berdaya,” kenang Rudi.
Suasana pusat Kota Kuala Simpang yang luluh lantak akibat banjir bandang di Aceh Tamiang, Aceh, Sabtu, 6 Desember 2025. ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/app/YU (ANTARA FOTO/ERLANGGA BREGAS PRAKOSO)
Trauma masyarakat mengingatkannya pada pengalaman meliput gempa Pidie Jaya dulu, kala itu ia melihat langsung penderitaan korban. Di lapangan, keluhan dan kepedihan warga sering ia temui secara langsung. Mulai dari kelaparan, hingga beban biaya pembersihan lumpur yang mencapai jutaan rupiah. Rudi pun tak segan berbagi dari kemampuannya.
“Bahkan ada ibu-ibu guru yang harus mencangkul lumpur di sekolahnya sendiri. Ada yang mengeluh tidak punya bensin. Saat itu, saya kasih sedikit yang saya bisa,” tutur Rudy sembari menahan haru.
Sebagai korban, perjuangan Rudi pascabanjir juga berat. Ia harus berjibaku membersihkan endapan lumpur tebal di rumahnya, di tengah pemadaman listrik yang masih berlangsung hingga saat ini.
“Mungkin saya di posisi 7 persen wilayah yang listriknya belum menyala. Warga juga kesulitan memasak akibat kelangkaan gas LPG,” ujarnya merespons klaim pemulihan listrik.
Rudi Hermawan, kontributor Metro TV di Kabupaten Pidie, Aceh. Foto: Dokumentasi pribadi
Meski begitu, tanggung jawabnya menyampaikan informasi terus berjalan. Untuk mengirimkan gambar dan naskah ke kantor pusat di Jakarta, Rudi harus menempuh perjalanan jauh ke Kota Sigli mencari sinyal internet dan listrik.
“Saya terpaksa bolak-balik dari rumah ke kota, kadang tidur di kantor PWI atau tempat teman agar bisa kirim materi. Meski rumah masih berlumpur dan was-was cuaca, tugas tetap berjalan,” pungkasnya dengan keteguhan.
Di balik setiap berita yang tersaji, ada banyak cerita dari jurnalis seperti Rudi Hermawan yang dengan hati terluka, tetap setia menjadi penyambung lidah bagi korban, mengabarkan duka, sekaligus mengulurkan tangan dengan caranya sendiri. Ia adalah simbol ketangguhan di tengah bencana, di mana garis antara tugas profesional dan panggilan kemanusiaan menjadi samar, namun justru semakin menguat karena "Meliput Dengan Hati".