Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto. Foto: MI/Ebet.
TIGA hari dari sekarang, tepatnya 20 Oktober 2025, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akan berumur satu tahun. Selayaknya orang yang berulang tahun, istana dan kantor-kantor pemerintahan lain pasti akan dibanjiri 'kado'.
Ada kado manis berupa capaian kinerja yang positif atau keberhasilan program. Ada pula kado pahit dalam wujud implementasi kebijakan yang melenceng, kegagalan eksekusi program, atau perolehan data statistik yang meleset dari target. Mungkin juga ada kado yang dimanipulasi, seharusnya pahit, tapi diklaim manis.
Bila bicara soal kado pahit, perhatian saya salah satunya terfokus pada kabar yang cukup menyesakkan tentang tingkat pengangguran muda di Indonesia yang kini berada di angka 17,3%. Angka itu dirilis Morgan Stanley Asia Economics pada Selasa (7/10), atau tepat dua pekan sebelum 'ulang tahun' pertama pemerintahan ini.
Dalam laporan bertajuk Asia Faces Rising Youth Unemployment Challenge, lembaga keuangan global itu membahas tingkat pengangguran secara umum di Asia. Hasil survei mereka cukup mencemaskan karena rupanya pengangguran di level anak-anak muda di Asia sangat tinggi. Pengangguran usia 15-24 tahun di Asia berkisar di angka 4%-18%, atau dua hingga tiga kali lipat dari tingkat pengangguran umum yang hanya 2%-7%.
Indonesia salah satu yang mereka sebut paling mengkhawatirkan di kawasan. Dengan angka pengangguran muda hingga 17,3%, artinya hampir seperlima dari total populasi
anak muda di negeri ini menganggur. Angka itu juga menempatkan Indonesia di posisi paling buruk kedua di Asia setelah India.
Indonesia Juara II Pengangguran Gen Z, begitu
Media Indonesia memberi judul berita tersebut pada edisi Rabu (8/10) lalu. Sarkas, tapi mengena karena memang begitu adanya. Menohok, tapi tak bisa ditepis karena memang seperti itulah datanya. Kiranya sangat naif kalau kita meragukan data yang dirilis lembaga keuangan sekredibel Morgan Stanley.
Apalagi
Badan Pusat Statistik (BPS) pun sebetulnya punya data yang nyaris sama. Dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2025, tergambar bahwa generasi Z atau gen Z merupakan angkatan paling banyak menganggur. Angkanya mirip, Sakernas 2025 menyebut pengangguran gen Z mencapai 16%.
Ilustrasi pengangguran. Foto: Freepik.
Data lain, masih dari BPS, juga menunjukkan bahwa pada 2024, jumlah anak muda yang tidak sedang bekerja, tidak sedang bersekolah, dan tidak sedang mengikuti pelatihan atau youth NEET (
not in employment, education, and training) mencapai 20,31%. Itu sama dengan kurang lebih 9 juta dari total populasi usia muda (15-24 tahun) sebanyak 44 juta.
Jelas itu merupakan kado pahit buat pemerintah. Bahkan mungkin bisa disebut superpahit karena data itu berkaitan dengan masa depan generasi muda, gen Z yang selama ini digadang-gadang akan menjadi aktor penting dalam visi Indonesia emas pada 2045. Bagaimana menjelaskan ke publik kalau tulang punggung sekaligus motor masa depan itu justru banyak yang tak bisa mengakses pekerjaan?
Pemerintah tentu tidak bisa berdiam diri karena sebentar lagi (atau malah sudah) pasti muncul pertanyaan semacam ini. "
Anak muda kok banyak yang nganggur, pemerintah ke mana aja?" Berikutnya ada yang menimpali, "Jangan-jangan pemerintah
nganggur (enggak kerja) juga, pantas saja enggak mampu menyediakan lapangan kerja buat anak-anak muda."
Ya, pemerintah harus cepat merespons fenomena pengangguran muda itu. Bukan cuma lantaran ada potensi munculnya pertanyaan tudingan seperti di atas, melainkan juga karena dampak dari meledaknya angka pengangguran muda itu tidak bisa dianggap enteng. Implikasinya bisa berlapis-lapis sehingga dapat melemahkan ekonomi secara struktural.
Sering dikatakan bahwa sulitnya anak muda mendapatkan pekerjaan disebabkan adanya ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki dan yang dibutuhkan pasar kerja. Itu yang didefinisikan sebagai pengangguran struktural. Jika pemerintah tak punya solusi tepat atau enggan melakukan intervensi secara khusus terhadap persoalan itu, pada ujungnya nanti masalah itu dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Dampak terburuknya ialah bencana demografi. Indonesia akan kehilangan potensi dari generasi muda. Alih-alih diharapkan menjadi motor penggerak ekonomi, mereka dengan ketidakproduktifan itu malah akan menambah beban bagi negara. Duh, menyunggi beban dari generasi tua saja sudah berat, eh ditambah lagi beban dari generasi muda. Ruwet, bukan? Bisa-bisa bangsa ini makin sulit bergerak gara-gara kelebihan beban.
Ini jelas tanda bahaya yang kalau dibiarkan, akan jadi bahaya beneran. Karena itu, di antara gegap gempita klaim capaian sukses pemerintah yang barangkali akan banyak disampaikan pada 'perayaan' ulang tahun perdana pemerintahan ini, Senin (20/10), kiranya problem pengangguran muda jangan sekali-kali diabaikan. Itu krusial karena menyangkut sumber daya manusia yang amat diharapkan menjadi motor penggerak ekonomi.
Kalaupun pada satu tahun pertama pemerintahan ini masalah tersebut luput jadi fokus perhatian, semestinya pada tahun kedua dan seterusnya tak boleh terjadi lagi. Semakin dibiarkan berlarut persoalan krusial ini, semakin dekat pula Indonesia pada kegagalan demografi dan kerusakan generasi. Ih, membayangkannya saja sudah mengerikan.
Saya punya saran buat Presiden Prabowo. Bukankah Anda punya wakil presiden yang berusia muda, yang dulu saat mencalonkan diri sebagai cawapres katanya juga untuk mewakili generasi muda, kenapa tidak Anda perintahkan saja Mas Wapres untuk fokus menangani persoalan pengangguran muda ini?
Mungkin saja dengan pendekatan ala anak muda, masalah yang menghantui anak muda juga lebih bisa diselesaikan. Apalagi, kan, Mas Wapres juga pernah berjanji akan menyediakan 19 juta lapangan kerja. Jadi, nanti kita bisa sekalian tagih janji itu. Cocok, bukan?